Oleh Pius Rengka
Tiga bulan belakang ini, NTT diwarnai  gaya dan pola kepemimpinan Victor Laiskodat dan Josef Naesoi. Gaya kepemimpinan dua tokoh ini, jelas sangat berbeda dengan gaya kepemimpinan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur sebelumnya. Perbedaan itu tampak melalui dan dalam banyak sebab dan hal.
Sebab yang pertama yang sangat jelas tampak, misalnya, Gubernur Victor dan Wakil Gubernur Josef Naesoi, adalah pemimpin yang sudah kaya sebelum keduanya menjabat kekuasaan. Hal ini sungguh akan sangat berpengaruh dalam cara keduanya mengelola kekuasaan di kelak kemudian hari. Apakah akan tambah kaya dengan cara koruptif ataukah akan tetap tambah kaya karena memang sudah kaya dengan memobilisasi kekayaan.
Sebab kedua, juga datang melalui pengalaman hidup yang berbeda, atau sejarah hidup yang berbeda dengan leverage sosial yang juga sangat jauh berbeda dengan pemimpin NTT sebelumnya.
Gubernur Victor datang dari lingkungan tradisi kompetisi intelektual kritis (nasional dan bahkan internasional) dan kompetisi bisnis kelas tinggi yang sangat kuat, sedangkan Josef Naesoi datang dari tradisi intelektual politik atau tradisi politik intelektual yang bertaraf nasional. Â Masih banyak hal lain yang dapat dideskripsikan dan akan diuji oleh sejarah kepemimpinannya.Â
Perbedaan latar belakang sosial politik dan ekonomi pemimpin NTT, jelas akan ikut memberi warna pada gaya kepemimpinan dan isi kepemimpinan yang mau dipakai dalam seluruh tatakelola kepemimpinan selama lima tahun ke depan (bandingkan dengan prinsip-prinsip good governance dan strong goverment).Â
Meminjam substansi kepemimpinan dari dunia manajemen, pemimpin itu cukup punya tiga hal utama yang menjadi keutamaan.
Tiga keutamaan itu, pertama, pemimpin harus memiliki kemampuan managerial skill. Dengan managerial skill yang mumpuni, pemimpin diharapkan sanggup mengelola organisasi kekuasaan  yang efisien dan efektif agar target atau hasil yang memadai atau target yang dicita-citakan dapat segera terwujud (dalam dunia bisnis disebut untung).
Pada konteks ini, pemimpin harus sanggup mengelola organisasi kekuasaan yang syarat kepentingan (dan tentu saja memiliki imajinasi kepentingan  individu yang berbeda satu dengan lainnya), apalagi jika segera disadari bahwa ekses dari kepemimpinan sebelumnya cukup memberi warna dalam kultur kerja organisasi kekuasaan.Â
Kesanggupan mengelola dan mengorganisasi team kerja birokrasi merupakan keniscayaan yang semestinya. Mengubah kultur kerja birokrasi, jelas bukan sesuatu yang gampang, meski secara tekstual dan konseptual dapat disebut begitu gampang dan lekas dengan serial keharusan.
Kedua, pemimpin harus memiliki technical skill agar pemimpin sanggup  mengontrol secara teknis tingkah laku team kerja dan kerja team birokrasi pembangunan. Tujuannya jelas, agar anggota team terampil dan cakap menggunakan sarana dan prasarana organisasi pemerintahan sehingga  target yang diimpikan tercapai dalam kurun waktu tertentu (lima tahun).
Technical skill ini sungguh niscaya justru karena (mungkin) kelakuan team kerja sudah terkontaminasi dengan gaya kepemimpinan lama yang mungkin saja lamban, lelet dan mungkin pula agak kolutif bahkan koruptif. Biasanya atau sering, kultur kerja kolutif dan koruptif pada puncaknya memproduksi kultur kerja taken forgranted.
Ketiga, pemimpin harus memiliki visi yang jelas dan terang. Perihal visi yang jelas dan terang itu sangat  diperlukan agar seluruh tingkah laku organisasi atau kultur kerja organisasi dan seluruh perangkat kerja yang dibutuhkan terbimbing dan dibimbing ke arah tujuan bersama yaitu kesejahteraan rakyat NTT.
Terkait  visi ini, pemimpin juga harus sanggup menjadi pemberi arah dan impian kesejahteraan bersama sehingga team kerja selalu memiliki harapan akan ada perbaikan di hari esok. Ada optimisme. Ada pelabuhan kebaikan yang akan dinikmati bersama, baik dinikmati team kerja, tetapi juga dan terutama dinikmati rakyat NTT yang dipimpinnya.
Tetapi, dalam urusan visi ini, diperlukan pemimpin yang tegas, tandas, lugas  dan berani menindak semua penyebab keterbakangan NTT ini. Baik itu sebab organisasional, maupun sebab kultural yang akut.
Menurut saya, tanda-tanda tiga bulan belakangan ini, Gubernur Victor, memberi banyak harapan, nasihat, kritik kultural dan janji kemakmuran. Â Janji kemakmuran itu, tentu saja, bukan tanpa alasan jelas.
Gubernur Victor dan Josef Naesoi sangat sadar sesadar-sadarnya, bahwa ini NTT seharusnya menjadi propinsi kaya, jika propinsi NTT dipimpin pemimpin yang benar, kuat, berani, bersih dan terutama menjauhkan diri dari masalah, termasuk motif dan tindakan korupsi. Karena pemimpin bermasalah pasti memproduksi masalah, Masalah itu mungkin terkait kepasitas individu pemimpin yang sungguh sangat terbatas, atau kapasitas sosial ekonomi pemimpin yang dirundung dhuka problem kemiskinan akut.
Pemimpin yang kuat, bersih dan tidak bermasalah  ialah pemimpin yang sanggup memecahkan masalah NTT sejauh dirinya sendiri tak bermasalah. Pemimpin decicive, tentu saja sangat dibutuhkan rakyat setelah NTT teramat lama dirundung dhuka terutama  dalam kurun waktu 15 tahun belakangan ini.
Berbeda dengan pemimpin sebelumnya, justru karena selain Victor dan Josef Naesoi suka berbicara lugas, lurus, terus terang tanpa tedeng aling-aling, dan semua itu benar adanya, juga karena latar belakang kehidupan pribadi mereka yang berbeda atau lain sebagaimana telah diungkapkan di atas.
Banyak kalangan menilai, kemajuan pesat NTT selama ini justru terletak pada pesatnya kemundurannya. Kemalangan yang diderita rakyat NTT, tentu saja, diakui antara lain ikut dan lebih banyak ditentukan dan disumbangkan oleh kualitas kepemimpinannya.
Hal itu pun diakui berkali-kali oleh Gubernur Victor dalam banyak kesempatan. Antara lain Gubernur Victor mengatakan, jika NTT ini miskin dan masih miskin, yang harus disalahkan adalah pemimpinnya. Pemimpin itu tolol, katanya sekali waktu saat Studium Generale di aula rektorat kampus Undana, Kupang.
Semua yang dikatakan, diucapkan, dikritik,  Gubernur itu  disambut gembira khalayak ramai dengan cukup entusias karena kritik yang disampaikannya itu sanggup memotret secara sangat sederhana apa yang sedang dialami khalayak ramai.  Kritikan Gubernur Victor merupakan pantulan dari realitas sosial NTT.
Kritikan Gubernur Victor tentang tradisi kerja birokrasi dan masyarakat yang lelet, lamban dan cenderung tidak berubah (looking back) serta koruptif, memang, terkonfirmasi data statistikal yang berkesimpulan bahwa NTT termasuk  satu dari tiga propinsi termiskin di Indonesia. NTT miskin, melarat, bodoh dan penyakitan, juga koruptif. Seolah-olah NTT ini merupakan sarang dan ladang terbaik bagi berkembang biaknya para bajingan kruptor itu.
NTT bukan hanya propinsi sangat miskin di Indonesia, tetapi NTT juga propinsi terkorup ketiga di negeri ini. Bukan hanya NTT propinsi terkorup di Indonesia, tetapi NTT juga propinsi  supermarket semua jenis penyakit yang tidak disukai oleh umat manusia di seluruh dunia.
NTT propinsi akut malaria. Kawasan merah ada di seluruh Pulau Sumba, Pulau Lembata, dan sebagian Kabupaten Ende dan juga beberapa lokasi di Kabupaten Manggarai Barat dan Timur. Jika ditilik dari sudut pandang industri pariwisata, maka beberapa wilayah yang disebutkan itu justru memiliki aset wisata yang sangat kuat, tetapi sekaligus sangat rawan malaria. Sebuah kontradiksi yang sangat memilukan dan sekaligus memalukan.
NTT juga propinsi HIV/AIDS dengan sebaran agak merata di seluruh NTT, dan Kota Kupang sebagai salah satu ibukota sarang HIV/AIDS. Karena itulah, mudahlah dimengerti kritik yang diajukan para aktivis tatkala Walikota Kupang, DR. Jefry Riwu Kore, berniat sangat kuat untuk menutup lokasi pelacuran di Karang Dempel, Kota Kupang.
Propinsi Human Trafficking:
Malah yang lebih mengerikan adalah ini. NTT adalah propinsi pemegang rekord tertinggi kasus human trafficking di Indonesia. NTT penyumbang  mayat tertinggi untuk seluruh Indonesia. Lihat saja, dalam kurun waktu 2018, sudah 102 mayat yang dikirim pulang dari berbagai tempat di kawasan Asia.  Belum terhitung mayat yang tidak dikenal dan tidak dipublikasikan. Baik yang dikubur atau dibuang di Nunukan atau tempat lain di kawasan Asean.
Gubernur Frans Leburaya, memang sudah berjuang mati-matian dan sungguh mati telah berjuang untuk mengurangi jumlah mayat masuk ke NTT, tetapi pada kesempatan yang sama arus pengiriman manusia ke luar NTT bagai air bah, seperti kejadian air bah pada bahtera di jaman nabi Nuh.
Terus terang, Frans Leburaya, memang telah berjuang keras sekali, tetapi tidak berhasil maksimal mengurangi kasus human trafficking, tentu karena ada sebab lain yang memiliki kelainan tertentu yang tidak sanggup diatasinya. Kalangan aktivis pejuang antihuman trafficking tahu pasti.
NTT juga dikenal sebagai  propinsi malas, propinsi bodoh yang diindikasikan melalui daftar panjang reputasi peringkat  pendidikan tamat sekolah di NTT yang sangat rendah.  Karena itulah  NTT lalu dikenang dan dikenal sebagai propinsi serba belakang, padahal negeri ini sudah merdeka sejak lama.
Lalu, datanglah Gubernur Victor dan Josef Naesoi. Dua tokoh ini, sudah berkali-kali (saya hitung 20 kali) dengan tandas mengatakan lawan human trafficking dan tangkap para pelakunya. Puncak dari serial ucapan itu, lahirlah  moratorium TKI dan Surat Keputusan Gubernur terkait TKI.
Mimpi Gubernur Victor dan Josef Naesoi sangat ideal, manusiawi. Semua TKI harus memiliki keterampilan berkelas nasional dan internasional. Karenanya berkali-kali pula Gubernur Victor dan Josef Naesoi menyerukan dan mendesak agar Balai Latihan Kerja difungsikan maksimal. Peserta BLK tidak hanya calon TKI, tetapi juga para penganggur tak kentara (disguised unemployment) yang hanya makan tidur di rumah orangtua.
Kalangan aktivis yang tergabung dalam aliansi Zero Human Trafficking (ZTN) menyambut gembira tekad Gubernur NTT ini. Â ZTN adalah aliansi NGO nasional maupun internasional yang bervisi agar dalam kurun waktu lima tahun ke depan NTT harus menjadi propinsi zero human trafficking. Mimpi ini sepertinya bertemu dengan impian Gubernur NTT Victor Laiskodat dan Josef Naesoi.
Rakyat NTT, tentu saja, menganggap serial ucapan, pidato, kritik sosial politik  dan nasihat jujur Gubernur Victor sudah tuntas, jelas dan terang. Karena itu, tahun 2018 dianggap khalayak sebagai tahun panggung diskursus, panggung pidato, tahun janji politik, dan tahun membawa harapan.
Tahun 2018 juga dianggap sebagai tahun konsolidasi kekuatan politik pembangunan Gubernur Victor dan Josef Naesoi. Mengapa? Karena  selama tiga bulan belakangan paska pelantikan, Gubernur Victor dan Josef Naesoi melakukan serial kunjungan ke berbagai lapisan sosial  dan struktur kekuasaan pemerintahan. Keduanya menggalang kekuatan politik dengan para bupati, camat dan kepala desa seluruh NTT. Tujuannya sangat terang, agar seluruh lapisan kekuatan birokrasi pemerintahan berada dalam satu front dengan mimpi Victor Jos.
Birokrasi pemerintahan berada dalam satu gerakan yang sama, mimpi yang sama, kelakuan yang sama dan puncaknya pada pembebasan rakyat NTT dari kemiskinan, kemelaratan, ketidakadilan, kebodohan, penyakitan dan tentu saja akhirnya rakyat NTT boleh menikmati harga dirinya sendiri. Â Rakyat NTT boleh punya harga diri, punya kehormatan diri. Maka gerakan pidato dan konsolidasi politik Gubernur NTT, tak lain dari membangun state capacity and mobilization of public support.
Dalam teori-teori tentang State Model of Public Policy, apa yang dilakukan Gubernur Victor dan Josef Naesoi merupakan pantulan dari ajaran yang menyebutkan pemimpin dan masyarakat itu tak boleh hanya sibuk dengan wacana, tetapi wacana yang cerdas itu diubah menjadi agenda setting.
Dalam teori disebut, agenda setting is how do issues reaching  public and policy agendas. Itulah sebetulnya yang sekarang sedang dinanti-nantikan oleh khalayak ramai. Itulah pula, yang diharapkan rakyat NTT agar pemimpin baru membawa perubahan baru.
Pertanyaannya ialah perubahan itu dimulai dari mana pada unit sosial politik di NTT? Apakah perubahan itu akan juga sensitif dengan kepentingan politik paling minimal dari seluruh kepentingan politik rakyat NTT?
Menurut saya, jika asumsinya demokrasi politik dibangun mulai dari sistem politik demokratik agar tercapai masyarakat yang demokratik, maka pertama yang harus dilakukan ialah  membenahi diri birokrasi yang tersedia agar birokrasi (birokrat) sanggup menjalankan fungsi pelayanannya secara maksimal.
Mengikuti pemikiran Immanuel Kant atau para Kantian, semakin demokratis sistem politik yang dibangun akan semakin baiklah sistem politik itu sendiri. Artinya, sistem politik itu sendiri dibangun agar sistem politik itu mengevaluasi dirinya sendiri. Pada akibatnya, muncullah para  aktor birokrat yang profesional, liat dan pegas untuk menjalankan roda pemerintahan.
Terkait dengan itulah gagasan Max Weber yang membayangkan birokrasi yang legal rational patut dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh ketika selama ini disinyalir birokrasi di NTT dibangun di atas fundasi politik jual beli posisi eksekutif yang dilakukan sempalan preman rente.
Dalam bayangan Weber, birokrasi yang kuat dan liat itu haruslah profesional, tetapi juga insentif harus cukup (meski istilah ini sangat relatif), disiplin. Sehingga prinsip meritokrasi tak hanya sebagai teks politik, melainkan sebagai praktek politik etis yang demokratis.
Menanti Eksekusi Tegas:
Rakyat NTT menunggu ini. Apa gerangan semua ucapan Gubernur Victor Laiskodat dan Josef Naesoi itu akan mulai konkrit setelah lepas tiga bulan pertama Tahun 2019? Mengapa pula harus menanti lepas tiga bulan pertama 2019?
Jawabannya jelas yaitu karena seluruh tiga bulan awal tahun 2019, rakyat Indonesia akan lebih fokus pada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden bulan April 2019.  Saat setelah itu, akan mulai tampak  peta atau profil politik nasional yang tentu saja akan ikut memberi warna politik lokal di NTT.
Saya kira Gubernur NTT, selain fokus pada perubahan cepat dan tegas di lingkungan birokrat eksekutif, tetapi juga akan sangat mempertimbangkan profil politik di level nasional, apalagi terus terang, Nasdem, partai induk Bung Victor Laiskodat, sedang berada di titik yang belum nyaman dalam konteks electoral threshold. Tetapi memburu dukungan politik di legislatif, tentu saja, sangat niscaya dan masuk akal, karena dukungan politik dewan selain prosedural, juga memiliki nuansa daya tendang ke level nasional.
Maka, saran saya kesegeraan mencari dan menemukan teman kerja profesional di lingkungan birokrat perlu serius dipertimbangkan dengan menggunakan kacamata merit system ala Max Weber, juga mentautkannya dengan dinamika eksternal politik NTT yang mengandung bebas sejarah pemimpin masa silamnya. Kami tetap setia menunggu. Salam
Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasi di VoxNtt.com, pekan lalu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H