Mohon tunggu...
Pitutur
Pitutur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Mencoba BERMANFAAT dengan MENULIS. Mencoba menuliskan sebuah peristiwa dari sudut pandang yang berbeda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bersikap Ramah tapi Menjarah Tanah

10 Februari 2018   09:11 Diperbarui: 11 Februari 2018   17:49 2541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potongan foto dari grondkaart yang asli, pada bagian bawah terdapat beberapa kolom, diantaranya di situ tertera siapa pihak-pihak pejabat yang berwenang dalam pembuatan peta tersebut. Termasuk didalamnya adalah perwakilan dari Pemerintah, Kadaster (BPN zaman Kolonial Belanda), juga pihak lain yang berkepentingan. Hal ini membuktikan bahwa grondkaart adalah sebuah bukti kepemilikan. Beda dengan peta militer pada umumnya. Pada setiap grondkaart juga terdapat nomor manuskrip/dokumen terkait dasar pembuatannya. Jadi di dalam dokumen akan lebih dijelaskan semua proses pembuatan dan kepemilikan lahan didalam grondkaart.

Polemik sengketa kepemilikan tanah selalu dimanfaatkan pihak-pihak tertentu sebagai panggung, ini karena pemahaman soal hukum yang mengatur kepemilikan tanah cukup tidak merata, dan pentingnya arsip kepemilikan tanah juga sempat diabaikan di era pemerintahan terdahulu.

Beberapa Presiden Indonesia terdahulu kurang serius menanganinya, meskipun kementerian terkait sudah dibentuk. Ini dibuktikan dengan sering kita temui sebuah tanah punya kepemilikan ganda. Tumpang tindih pihak yang mengklaim pengakuannya.

Ada juga tanah pemerintah yang disepelekan (tidak diurus) keberadannya waktu itu, sehingga banyak pihak yang memanfaatkan dengan meninggali selama berpuluh-puluh tahun tanpa permisi, dan atau tanpa mendapat perhatian dari pemerintah selaku pemilik tanah yang sah.

Kebiasaan yang saya anggap sebagai ketidakpedulian pemerintah terdahulu kini tidak lagi terjadi. Joko Widodo sejak menjabat menjadi Presiden, menjadikan PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria) kembali bergaung secara jelas. PRONA yang sebenarnya sudah disosialisasikan sejak 1981 sekarang bergaung kembali sebagai bagian yang harus diseriusi oleh Badan Pertanahan Nasional. Joko Widodo menyampaikan jika saat ini ada sekitar 80 juta sertifikat yang belum disertipikat yang belum diterbitkan, ini jumlah yang sangat fantastis, mengingat negeri ini sudah lebih dari setengah abad menggeliat.

Beberapa pihak memanfaatkan peluang ini dengan berlomba-lomba mensertifikatkan. Baik mereka yang memiliki hak secara sah karena mendapatkan warisan dari orang tua/keluarganya, atau juga mereka yang selama ini menempati tanah pihak lain secara diam-diam dan tidak dipedulikan pemiliknya yang sah.

Polemik demi polemik kita jumpai jadi bahan pemberitaan. Perebutan hak waris sering terjadi, karena pada zaman dulu perpindahan kepemilikan tanah sering hanya dilakukan melalui omongan, dan batas kepemilikan pun sering kali hanya menggunakan obyek yang tidak permanen. Sering kita melihat sebuah lahan ditentukan dengan batas sungai/pohon/tebing atau objek lainnya, dan tidak ada pengukuran tanah secara jelas dengan proses hukum yang benar.

Hukum yang berlaku di Indonesia bisa kita bilang mayoritas adalah produk Kolonial Belanda. Hal ini cukup mudah dibuktikan, karena dalam setiap putusan hukum yang kuat, baik tingkat bawah hingga putusan Mahkamah Agung pun menggunakan istilah hukum yang dikeluarkan sejak zaman Belanda.

Kita perlu mengakui, sistem hukum dan pertanahan yang diwariskan oleh Kolonial Belanda adalah yang kita pakai sekarang. Mereka mengajari kita bagaimana mengukur tanah yang benar, memetakan tanah yang benar, dan membuat dokumentasi kan sebuah kepemilikan lahan dengan baik dan benar.

Kita bisa mengetahui bahwa Cornelius De Houtman masuk ke Banten (dulu belum ada Indonesia) tahun 1596 adalah karena kita membaca catatan sejarah dan pengarsipan yang ditinggalkan oleh Belanda. Ada juga Portugis masuk Ambon tahun 1513 dipimpin Francisco Serrao, itu lebih dulu dibanding Belanda masuk ke Indonesia, tetapi catatan sejarah keberadaan Portugis pun tenggelam oleh catatan sejarah yang ditinggalkan Kolonial Belanda.

Belanda adalah negara yang cukup bagus dalam melakukan administrasi kepemerintahan nya, hal ini memudahkan Indonesia dalam menelusuri sejarahnya.

Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 tidak membuat begitu saja Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, karena proses pengakuan kedaulatan oleh Belanda baru terwujud setelah Konferensi Meja Bundar yang dilakukan 23 Agustus-2 November 1949. Menyikapi hasil konferensi tersebut, proses serah terima pun dilakukan, baik penyerahan dokumen yang menyangkut administrasi, maupun pelimpahan hutang piutang (tanggung jawab) yang masih ada waktu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun