Tiga puluh menit berlalu namun dia belum juga terlihat. Kini teh di depanku pun mulai dingin. Sudah tak terhitung berapa kali aku mengecek ponsel, bahkan rasanya di sini kosong padahal banyak orang berlalu-lalang.
Di tengah ketidakpastian ini seseorang mengirim pesan
 "Aku membawa dokumen yang kamu tanyakan tapi sepertinya sedang tidak ada di rumah ya?"
Baru saja  akan membalasnya terdengar suara
"Sudah lama nunggu? Tadi ada sedikit masalah, jadi mau tidak mau aku harus mengurusnya dulu. Tidak apa-apa kan?"
Aku melihatnya sambil berusaha menyembunyikan kekesalan semala menunggunya tadi.
"Tentu, tidak masalah, belum nunggu lama juga kok."
"Yakin?" Tanyanya seperti meledek.
Belum juga aku menanggapinya poselnya berbunyi, lantas katanya "Sebentar ya mau nerima ini dulu" sambil berlalu.
...
"Lagi di luar uji kesabaran." Jawabku pada seseorang yang mengirim pesan sebelumnya. ["Aku membawa dokumen yang kamu tanyakan tapi sepertinya sedang tidak ada di rumah ya?"]
Secepat kilat dia suda merespon kembali
"Kalau begitu selamat bertambah sabar wkwkwk. Dokumennya disimpan di sini atau besok aja di tempat kerja?"
"Kayaknya besok? Entahlah." Jawabku, kemudian direspon dengan stiker bingung.
...
Untuk menghilangkan rasa bosan aku melihat ke luar jendela. Banyak kendaraan yang berlalu-lalang membuatku iri. "Mereka dari tadi bergerak, mungkin sebagian sudah mencapai tujuannya sedangkan aku masih di sini. Tidak ada pergerakkan sama sekali. Jangan-jangan kendaraan-kendaraan itu mulai menertawakanku?." Hatiku terus berbicara tanpa henti.
Setelah hampir satu jam, orang yang menerima telpon tadi datang.
"Sudah pesan makanan?"
"Belum." Kataku singkat.
"Mau pesan sekarang atau pulang?" Mungkin dia menyadari bahwa aku kesal.
Aku diam beberapa saat. Wajahnya terlihat sangat lelah dan sepertinya banyak masalah yang terjadi dan akhirnya memutuskan untuk menjawab "pulang ..."
"Oke." Tanggapannya.
Saat di luar aku memberitahu untuk tidak mengantar pulang, tapi dia tidak menghiraukannya dan tetap mengantarkan pulang. Di perjalanan tidak ada percakapan yang terjadi. Bahkan setelah sampai di rumahku pun kami masih sama-sama diam.
"Hati-hati." Kataku sambil berlalu tanpa mendengar responnya.
...
Tidak lama kemudian ponselku berbunyi. Ku pikir dia memberi kabar sudah sampai di tempatnya. Tapi waktunya terlalu singkat. Ternyata memang bukan.
"Aku masih di daerah dekat rumahmu, kalau mau dokumennya sekarang bilang aja, paket akan segera dikirim ke tujuan wkwkwk."
"Jika begitu tolong diantarkan." Membaca pesannya membuatku sedikit tenang.
...
Bel rumah berbunyi, dan sudah bisa ditebak siapa yang datang. Dia adalah Reyfan temanku dari waktu SD hingga saat ini. Kami sangat dekat sudah seperti kakak-adik.
"Ini paketnya. Silahkan diperiksa. Apakah sudah sesuai?"Tanyanya
Aku melihat-lihat sebentar dan menjawab "Sesuai pesanan. Terima kasih."
"Baik. Mau nolongin aku tidak?" Tanyanya lagi
"Apa?"
"Jalan-jalan."
"Maksudnya?"
"Ya, jalan-jalan. Sebenarnya aku mau mencari makan tapi ingin ada yang mengantar."
"Oooh, begitu. Gimana kalau pesan online aja, kebetulan aku juga lapar tapi tidak ada lagi tenanga untuk berjalan." Timpalku
"It's okay."
Kami pun memesannya, setelah makanan datang kami menuju ke taman. Reyfan benar-benar terlihat lapar. Dia dengan cepat menghabiskan makanannya. Menyadari aku menatapnya dia bertanya "Kenapa? Ada sesuatu di wajahku?"
"Tidak apa-apa. Hanya ingin melihat aja." Jawabku.
"Jangan sering melihat, nanti kamu suka." Katanya tanpa ragu.
Aku tersenyum, tanpa sadar berucap "Terima kasih sudah lahir ke dunia ini dan memilih untuk mengenalku."
Dia menatapku dalam.
"Tolong jangan seperti itu jika hatimu masih memilihnya."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI