Mohon tunggu...
My Journal
My Journal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hukum

Topik Konten akan seputar Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisis Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dengan Pelaku Penyandang Disabilitas Perspektif Teori Keadilan John Rawls

22 Januari 2025   15:07 Diperbarui: 22 Januari 2025   15:07 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Analisis Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dengan Pelaku Penyandang Disabilitas Perspektif Teori Keadilan John Rawls

Ida Muidah, S.H

Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Mathla'ul Anwar Banten

Abstrak

John Rawls seorang filsuf politik abad ke-20 melalui konsep "Justice as Fairness" dalam buku "A Theory of Justice", menekankan keadilan distributif yang mencakup kebebasan dasar yang setara, kesempatan yang sama, dan perlindungan bagi kelompok yang paling tidak beruntung. Prinsip-prinsip ini relevan dalam analisis kasus kekerasan seksual, terutama ketika melibatkan pelaku penyandang disabilitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif untuk mengeksplorasi dilema antara keadilan bagi korban dan perlakuan manusiawi terhadap pelaku disabilitas. Berdasarkan teori Rawls, keadilan menuntut perlakuan setara tanpa diskriminasi, dengan fokus pada rehabilitasi pelaku disabilitas serta pemulihan korban. UU Nomor 8 Tahun 2016 dan UU Nomor 12 Tahun 2022 menjadi landasan untuk menerapkan keadilan inklusif dan restoratif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa integrasi perlindungan korban dan rehabilitasi pelaku menciptakan sistem hukum yang lebih humanis dan berkelanjutan.

Kata Kunci: John Rawls, Keadilan, Kekerasan Seksual, Penyandang Disabilitas

 

Abstract

John Rawls, a 20th century political philosopher through the concept of "Justice as Fairness" in the book "A Theory of Justice," emphasizes distributive justice which includes equal basic freedoms, equal opportunities, and protection for the most disadvantaged groups. These principles are relevant in the analysis of sexual violence cases, especially when they involve perpetrators with disabilities. This research uses a normative juridical approach to explore the dilemma between justice for victims and humane treatment of perpetrators with disabilities. Based on Rawls' theory, justice demands equal treatment without discrimination, with a focus on the rehabilitation of perpetrators with disabilities as well as the recovery of victims. Law No. 8 of 2016 and Law No. 12 of 2022 provide the basis for implementing inclusive and restorative justice. This research concludes that the integration of victim protection and offender rehabilitation creates a more humane and sustainable legal system.

Keywords: John Rawls, Justice, Sexual Violence, Persons with Disabilities

Pendahuluan

John Rawls atau John Bordley Rawls, seorang filsuf moral dan politik liberal kelahiran 21 Februari 1921, dari Amerika. Beliau merupakah salah satu filsuf politik yang paling berpengaruh di abad ke-20. John Rawls dengan buku pertamanya yang berjudul "A theory of justice" berfokus pada persoalan keadilan distributif dan usaha untuk dapat mendamaikan permasalahan antara nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan. Dalam bukunya tersebut, John Rawls menunjukkan bahwa gagasan tentang kebebasan dan kesetaraan dapat dipadukan dalam konsep yang disebut dengan "Justice as Fairness", konsep ini memberikan rekomendasi kebebasan dasar yang setara, kesempatan yang sama, dan memberikan fasilitas manfaat yang besar bagi masyarakat paling tidak beruntung dalam hal apapun dimana terjadinya ketidaksetaraan.[1]

Teori keadilan John Rawls adalah sebuah karya yang bertujuan untuk menjawab teori keadilan berlandaskan etika utilitarianisme dengan memberikan lternatif prinsip-prinsip keadilan yang berdasarkan pada teori kontrak sosial. Menurut John Rawls, keadilan ialah suatu kebajikan utama dari hadirnya institusi atau lembaga sosial. Akan tetapi, menurut beliau, hal kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak bisa mengesampingkan atau mengganggu rasa keadilan dari setiap orang yang memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah.[2]

John Rawls membagi prinsip keadilan menjadi 2 bagian, yaitu:

  • Prinsip kebebasan yang sama, artinya bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama terhadap kebebasan-kebebasan dasar yang sistemnya setara dengan kebebasan untuk semua (liberty for all).[3] Prinsip ini menegaskan bahwa setiap orang atau individu yang berasal dari status sosial atau ekonomi seperti apapun, tetap mempunyai kebebsan dasar yang harus dijunjung tinggi dan dilindungi bagi seluruh masyarakat.
  • Prinsip perbedaan tentang sosial ekonomi yaitu prinsip tentang ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang dibuat untuk memberikan keuntungan terbesar bagi pihak yang tidak beruntung.[4] Sedangkan prinsip ini, memperbolehkan adanya kesenjangan dalam alokasi sumber daya dan peluang, jika kesenjangan tersebut dapat menghasilkan keuntungan yang besar untuk masyarakat paling tidak beruntung. Dengan kata lain, terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial dianggap boleh jika bertujuan untuk memberikan kebaikan atau kebermanfaatan yang nyata bagi kelompok terpinggir.

Berlandaskan kedua prinsip tersebut, John Rawls memberikan rumusan keadilan dalam konsep umum yaitu nilai-nilai sosial diterapkan dengan sama kesuali jika diterapkan tidak sama tersebut membawa keuntungan atau kebermanfaat bagi semua orang. Artinya bahwa setiap orang harus mengambil manfaat dari ketidaksetaraan sosial apapun.[5]

Dengan konsep keadilan John Rawls seperti kebebasan yang sama dan perlindungan bagi kelompok tidak beruntung snagat relevan dengan berbagai permasalahan kehidupan. Salah satu isu yang membutuhkan pendekatan keadilan menurut john Rawls adalah tindak pidana kekerasan seksual. Tindak pidana kekerasan seksual tidak hanya melanggar kebebasan individu, akan tetapi juga memberikan ketidaksetaraan, terutama jika korban berasal dari kelompok rentan.

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Pelaku tindak pidana dapat disebut dengan subjek tindak pidana. Terdapat istilah dalam KUHP yang dikenal dengan "Strafbaar feit", sedangkan dalam kepustakaan disebut dengan istilah delik. Pembuat peraturan perundang-undangan menggunakan istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana.[6] Kekerasan seksual adalah peristiwa terjadinya pendekatan seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang terhadap oranglain. Pendekatan seksual ini terjadi dalam berbagai bentuk baik fisik maupun verbal.[7]Menurut Pasal 1 angka 1 UU TPKS, tindak pidana kekerasan seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana. sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini dan perbuatan seksual lainnya sebagaimana yang diatur dalam undang-undang sepanjang ditentukan dalam undang-undang ini.[8]

Sehingga dapat diartikan, tindak pidana kekerasan seksual adalah tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan dengan melakukan perbuatan yang tidak diinginkan dalam bentuk fisik maupun verbal, perbuatan atau tindakan yang memenuhi unsur tindak pidana menurut undang-undang. Sanksi pidana terhadap tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia yaitu berupa sanksi pidana penjara dan/atau penjara.

Tindak pidana kekerasan seksual adalah tindak pelanggaran serius terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang berdampak luas terhadap korban dan pelaku. HAM sendiri dapat diartikan sebagai sekumpulan hak yang telah melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib untuk dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap individu demi kehormatan serta perlindungan harkat dan masrtabat manusia.[9]

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan perhatian besar terhadap perlindungan korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 25. Undang-undang ini juga menekankan prinsip keadilan dan nondiskriminasi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Ayat 1. Selain itu, Pendekatan berbasis keadilan restoratif juga disebutkan sebagai salah satu cara dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual yang tercantum dalam Pasal 6 Ayat 3, yang dimungkinkan dapat memberikan rehabilitatif terhadap pelaku.[10]

Tapi bagaimana jika tindak pidana kekerasan seksual dilakukan oleh penyandang disabilitas, persoalan menjadi lebih kompleks karena harus mempertimbangkan keterbatasan fisik, mental, atau intelektual pelaku. Hukum sering kali berhadapan dengan dilema antara penegakan keadilan atau hak-hak penyandang disabilitas.

Sedangkan, secara eksplisit Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang memberikan perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5 dan Pasal 9. Pasal-pasal terebut menegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan keadilan tanpa diskriminasi, termasuk dalam proses hukum. Selain itu, Pasal 12 dan Pasal 13 menekankan pentingnya rehabilitas bagi penyandang disabilitas yang terlibat dalam sistem hukum, baik sebagai krman maupun pelaku.[11]

Tindak pidana kekerasan seksual dengan pelaku seorang penyandang disabilitas, contohnya kasus I Wayan Agus Suartama yang dikenal sebagai Agus Buntung. Seorang penyandang disabilitas tanpa kedua tangan yang didakwa melakukan perbuatan yang melanggar hukum yaitu tindak pidana kekerasan seksual terhadap perempuan di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Selama Penahanan, terdapat keluhan Agus Buntung terkait kondisi kesehatannya yang memburuk dan merasakan ketidaknyamanan di penjara. Ia mengajukan permohonan pengalihan penahanan menjadi tahanan rumah agar mendapatkan perawatan yang lebih layak dan baik.[12]

Kasus tersebut menarik perhatian publik, terutama karena status Agus yang merupakan penyandang disabilitas. Banyak yang menyoroti bagaimana perlakuan atau tindakan terhadap tersangka difabel dalam sistem peradilan pidana.tentu perlu menekankan perlakuan yang adil dan sesuai dengan kondisi kesehatannya.[13]

Pelaku yang merupakan penyandang disabilitas berhak atas perlakuan yang manusiawi dan rehabilitatif berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Di sisi lain, korban kekerasan seksual juga memiliki hak atas keadilan, keamanan, dan pemulihan yang dijamin oleh UU TPKS. Adanya ketidakharmonisan antara kedua undang-undang tersebut dan menimbulkan dilema etis dan hukum. Selain itu, aparat penegak hukum dihadapkan pada pilihan yang sulit antara memberikan keadilan kepada korban dengan menghukum pelaku dengan berat atau memberikan rehabilitasi kepada pelaku sesuai dengan kebutuhannya sebagai penyandang disabilitas. 

Teori keadilan dari John Rawls, memberikan kerangka untuk menilai bagaimana perlakuan hukum yang adil dapat diterapkan dengan baik. Disamping itu, HAM menekankan perlindungan semua individu tanpa diskriminasi, termasuk pelaku penyandang disabilitas yang terkadang rentang terhadap perlakuan tidak adil dalam proses peradilan.

 

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual. Sumber data penelitian ini yaitu data primer yang bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Serta data sekunder yaitu Buku, Jurnal, dan dokumen yang relevan dengan teori keadilan John Rawls dan HAM.

Data dianalisis dengan menggunakan metode deduktif, dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan dan HAM untuk menganalisis kasus kekerasan seksual dengan pelaku penyandang disabilitas.

 

Hasil Penelitian & Pembahasan

Menurut teori keadilan John Rawls, pendekatan yang ideal dalam kasus pelaku penyandang disabilitas yang melakukan tindak kekerasan seksual adalah memastikan adanya perlakuan yang adil tanpa mengabaikan hak-hak korban. Prinsip John Rawls menekankan bahwa keputusan hukum harus dibuat tanpa memandang identitas atau kondisi individu yang terlibat, baik pelaku maupun korban. Dengan demikian, proses hukum yang ideal tidak boleh bias terhadap kondisi pelaku sebagai penyandang disabilitas, namun tetap memperhatikan kebutuhan korban untuk mendapatkan keadilan. Prinsip perbedaan John Rawls juga relevan dalam kasus ini, di mana kelompok rentan seperti penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlakuan khusus yang mampu mengurangi ketidakadilan struktural yang mereka hadapi, misalnya dalam hal keterbatasan fisik atau mental yang dapat memengaruhi tindakan mereka.

Dalam kasus kekerasan seksual dengan pelaku penyandang disabilitas, rehabilitasi menjadi salah satu cara yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Rehabilitasi bukan hanya bertujuan untuk memperbaiki perilaku pelaku, tetapi juga menjadi sarana untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana serupa di masa depan. Pendekatan ini sejalan dengan Pasal 12 dan Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 2016 yang menegaskan pentingnya layanan rehabilitasi berbasis medis, sosial, maupun komunitas bagi penyandang disabilitas yang terlibat dalam sistem peradilan. Dengan memberikan rehabilitasi, pelaku penyandang disabilitas dapat memahami kesalahan mereka dalam konteks kondisi psikososial mereka, tanpa meniadakan konsekuensi atas tindakan yang telah mereka lakukan.

Namun, penerapan pendekatan rehabilitatif ini harus tetap memperhatikan hak-hak korban sebagai prioritas utama. UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual secara jelas memberikan perlindungan hukum kepada korban, termasuk hak atas rehabilitasi medis, psikologis, dan sosial, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 25. Oleh karena itu, meskipun pelaku membutuhkan perlakuan khusus berdasarkan prinsip nondiskriminasi, hak-hak korban tidak boleh diabaikan. Pendekatan hukum yang bersifat restoratif dapat menjadi solusi untuk menyeimbangkan kedua hal ini, yakni melalui mediasi atau dialog antara pelaku, korban, dan masyarakat, di mana keduanya sama-sama mendapatkan keadilan yang manusiawi dan proporsional.

Secara keseluruhan, teori keadilan John Rawls memberikan kerangka konseptual yang relevan dalam menangani kasus ini yaitu dengan menekankan pentingnya prinsip keadilan yang berlandaskan nondiskriminasi. Melalui peraturan yang ada, perlu mengintegrasikan perlindungan terhadap korban dan rehabilitasi terhadap pelaku penyandang disabilitas agar keduanya dapat terakomodasi dengan baik. Pendekatan seperti ini tidak hanya mendukung pemenuhan hak-hak asasi manusia, tetapi juga menciptakan sistem hukum yang lebih inklusif, humanis, dan berkelanjutan. Dengan demikian, teori Rawls mengingatkan kita bahwa keadilan bukan sekadar hukuman, melainkan proses untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat secara keseluruhan.

 

Kesimpulan

Teori keadilan John Rawls memberikan pendekatan yang relevan dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan seksual dengan pelaku penyandang disabilitas. Prinsip keadilan distributif menuntut agar perlakuan terhadap pelaku disabilitas tidak diskriminatif, dengan tetap mengutamakan hak-hak korban untuk mendapatkan keadilan, keamanan, dan pemulihan. Rehabilitasi pelaku menjadi elemen penting untuk mengatasi ketidakadilan struktural, sejalan dengan UU Nomor 8 Tahun 2016. Di sisi lain, UU Nomor 12 Tahun 2022 menegaskan hak korban atas perlindungan hukum dan pemulihan komprehensif. Pendekatan restoratif, yang melibatkan dialog antara pelaku, korban, dan masyarakat, menjadi solusi untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan rehabilitasi pelaku dan pemulihan korban. Dengan demikian, sistem hukum yang inklusif, humanis, dan berlandaskan prinsip nondiskriminasi dapat diwujudkan untuk menyelesaikan dilema hukum dan etika dalam kasus ini.

 

Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Karen Leback. Penerjemah Yudi Santoso. Teori-Teori Keadilan. Cetakan ke-6, Bandung: Nusa Media, 2018.

Hyronimus Rhiti. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011.

Karen Leback. Penerjemah Yudi Santoso. Teori-Teori Keadilan. Cetakan ke-6, Bandung: Nusa Media, 2018.

Bambang Poernomo. Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Rosania Paradiaz dan Eko Soponyono. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 4, No. 1, 2022.

Firman Adi Candra. Optimalisasi Pidana Mati Pada Sistem Pidana Nasional. Jurnal Ilmiah Cahaya Hukum, Vol. 3, No. 1, 2023.

Liputan 6. https://www.liputan6.com/regional/read/5883423/agus-buntung-mengeluh-tak-nyaman-di-penjara-minta-jadi-tahanan-rumah. Diakses pada 21 Januari 2025, Pukul 15.00 WIB.

Antaranews.https://m.antaranews.com/berita/4524085/fakta-kasus-pelecehan-seksual-agus-buntung-yang-tuai-perhatian-publik?utm_source=chatgpt.com. Diakses pada 21 Januari 2025, Pukul 15.35 WIB.

Hukum Online. https://www.hukumonline.com/klinik/a/jenis-jenis-kekerasan-seksual-menurut-pasal-4-uu-tpks-lt66ebf05b2a715/#_ftn1. Diakses Pada 21 Januari 2025, Pukul 07.00 WIB.

Wikipedia. https://id.wikipedia.org/wiki/John_Rawls. Diakses pada 21 Januari 2025, Pukul 02.00 WIB.

Perpustakaan Kemendagri. https://perpustakaan.kemendagri.go.id/portfolio/tumpuan-keadilan-rawls-hidup-bersama-seperti-apa-yang-kita-inginkan/#:~:text=Rawls%20berpendapat%20bahwa%20keadilan%20adalah,rasa%20keadilan%2C%20khususnya%20masyarakat%20lemah. Diakses pada 21 Januari 2025, Pukul 02.30 WIB.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun