Mohon tunggu...
Pither Yurhans Lakapu
Pither Yurhans Lakapu Mohon Tunggu... Penulis - Pemitra (pejuang mielitis transversa)

Penulis buku "TEGAR!; Catatan Perjuangan Melawan Mielitis Transversa". Twitter: @pitherpung, blog: https://pitherpung.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

UU Desa Gerus Tradisi dan Budaya Orang Timor

18 April 2022   17:08 Diperbarui: 18 April 2022   17:17 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi musyawarah desa | Sumber gambar: Istimewa

"Jika dianalogikan, ciri kepemimpinan tradisional di Timor menyerupai kepemimpinan Cina kuno yang lebih mengagungkan orang tua dan kebijaksanaan, bukan kepemimpinan Romawi kuno yang lebih mengagungkan kaum muda dan kekuatan fisik."

PENERAPAN Undang-undang No. 6 Tahun 2014 atau lebih dikenal dengan UU Desa sangat menggerus budaya dan tradisi orang Timor. Bahkan sangat mungkin memunahkan ciri khas kearifan lokal yang telah diwariskan nenek moyang itu.

Sejak dulu, budaya orang Timor lebih mengedepankan peran para amaf atau mnais kuan yakni para kepala suku atau tua adat dari marga, suku, dusun atau kampung tertentu di sebuah desa. Amaf-amaf ini sangat dihormati, memiliki pengaruh dan juga penentu terjaganya budaya dan kearifan lokal yang dimiliki.

Orang yang dijuluki amaf atau mnais kuan umumnya pria sepuh di atas 60 tahun atau pria tertua dalam komunitas itu.

Para amaf dianggap sebagai tokoh-tokoh yang memiliki banyak pengalaman, sudah matang untuk memimpin, dan berpikiran bijaksana dalam menghadapi peliknya  persoalan di masyarakat. Seperti: konflik agraria, persoalan adat dan kawin-mawin, percekcokan antar keluarga/marga/kampung, masalah pertanian/peternakan/perikanan, dan sebagainya.

Sedangkan, generasi muda (munif atau 'betin) dipandang masih labil, kurang pengalaman dan kurang mampu merangkul serta mengarahkan anggota suku tersebut.

Amaf biasanya bertindak sebagai pemimpin, pemikir dan pengambil keputusan yang arif sedangkan kaum muda menjadi eksekutor karena lebih gesit dan bertenaga dalam bekerja.

Dengan diterapkannya UU Desa yang salah satu poin pentingnya adalah penggelontoran dana hingga Rp 2 M/desa/tahun, maka dituntut agar kaum muda-lah yang harus mengisi posisi sebagai Kades, Kaur, Kasi hingga Kadus (kepala dusun), karena mereka dinilai lebih cekatan dan paham perkembangan zaman sehingga mampu mengurus anggaran fantastis itu.

"Bijaksana itu belakangan, walaupun persoalan di desa itu kompleks, yang penting bisa kelola anggaran," canda seorang teman yang terlibat dalam pengelolaan dana desa (DD), ketika saya mengungkapkan keprihatinan tentang tergerusnya peran amaf sebagai imbas dari penerapan UU Desa ini.

Perubahan yang sudah terlihat setelah delapan tahun lahirnya UU Desa adalah, berapa besar dana yang mengalir ke desa dan berapa persen yang dilaporkan terserap lebih diutamakan, sedangkan keterlibatan para amaf sebagai wujud pelestarian budaya dan kearifan lokal seolah diabaikan.

Apalagi kehadiran undang-undang ini bersamaan dengan kemajuan pesat media sosial--media online sehingga program para pemimpin muda ini cenderung gagap dan lebih mengekor budaya luar daripada mempertahankan budaya sendiri.

Pemerintah pusat pun seakan mendukung lewat kebijakan-kebijakan yang hanya berfokus pada masalah "uang", di antaranya, besaran DD terus ditingkatkan dari tahun ke tahun, gaji aparat dibayarkan per bulan dari sebelumnya per tiga bulan, dan diizinkannya penggunaan 3% DD untuk operasional Kades Cs.

Selain itu, dalam tatanan pemerintahan desa sebelumnya, jabatan perangkat desa dan kepala dusun kerap dijadikan sebagai jabatan kompromistis sesuai kearifan lokal, untuk menetralkan tensi politik dan menyatukan kembali warga yang terbelah saat proses pemilihan kepala desa. Bukan melulu tentang "uang".

Umumnya, pelaksana kewilayahan (Kepala Dusun) diserahkan kepada para amaf karena mereka bisa menggerakkan dan mengarahkan warganya, sedangkan Kaur diangkat dari kaum muda utusan setiap dusun atas rekomendasi para amaf.

Dengan itu maka semua kepentingan politik akan terakomodasi dan kearifan para amaf tetap tersirat dalam setiap program di desa tersebut. Penyelenggaraan pemerintahan desa selanjutnya pun bisa berjalan adil dan demokratis.

Hal ini tidak lagi terlihat sejak kehadiran UU Desa dan turunannya. Syarat usia perangkat desa ditetapkan antara 20-42 tahun. Seleksinya pun diawali dengan tes tertulis oleh pihak kabupaten dan perangkat-perangkat itu tidak bisa digantikan hingga mereka berusia 60 tahun nanti.

Dengan sendirinya para amaf tersingkir dan tak ada lagi faktor pemersatu politik sebagaimana  kearifan lokal sebelum lahir UU Desa. Yang diandalkan sekarang untuk mempemersatukan warga adalah "uang" berwujud Dana Desa bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah yang diimplementasikan lewat aneka program kesejahteraan yang "dijanjikan" Kades terpilih.

Tatanan adat, budaya, dan kearifan lokal orang Timor yang sudah terbentuk sejak nenek moyang terkikis dan diubah dalam sekejap mengikuti syarat UU Desa. Pun, sudah jamak terjadi bahwa ketika "uang berbicara" maka janji hanya tinggal janji, kesejahteraan warga hanya tinggal impian.

Masalah lainnya lagi adalah pengangkatan aparat desa dilakukan oleh Kades lama yang menjabat saat pertama kali seleksi (di Kabupaten Timor Tengah Selatan diselenggarakan sekitar tahun 2019), dan tidak bisa diganti oleh Kades baru dengan mudah.

Harus ada alasan kuat untuk mengganti seorang aparat desa seperti,  meninggal dunia, telah berumur 60 tahun, terpidana minimal lima tahun penjara atau berhalangan tetap. Selain itu, penggantian aparat harus mendapat persetujuan dari Camat. (Permendagri No.67 Tahun 2017).

Kades terpilih wajib bekerja sama dengan perangkat desa yang diangkat sebelumnya walaupun tidak ada kecocokan dari segi visi--misi, skill, hingga manuver politik. Para amaf pun tidak bisa berperan lebih jauh karena semua keputusan lebih mengacu pada undang-undang bukan peraturan adat.

Aturan ini ibarat Bupati/Gubernur terpilih tidak bisa mengganti pimpinan-pimpinan SKPD, atau Presiden terpilih tidak bisa merombak kabinetnya, tapi harus menggunakan menteri-menteri yang diangkat oleh Presiden pertama.

Oleh karena itu, yang akan terjadi untuk beberapa waktu ke depan adalah konflik demi konflik di desa akibat "disrupsi regulasi" (terjadinya perubahan peraturan secara mendasar dan besar-besaran dalam waktu singkat) yang mengubah semua tatanan pemerintahan desa selama ini. Program pemerintah desa pun tidak akan berjalan lancar, efisien dan efektif.

Sedangkan untuk jangka panjang, mindset masyarakat akan terbentuk bahwa program pemerintah desa hanyalah seputar masalah "uang". Kelestarian budaya dan kearifan lokal akan makin tereduksi bahkan terancam tinggal kenangan.*

---------

Baca juga: Urgen! Besaran dan Mekanisme Pengelolaan Dana Desa Perlu Dievaluasi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun