Apalagi kehadiran undang-undang ini bersamaan dengan kemajuan pesat media sosial--media online sehingga program para pemimpin muda ini cenderung gagap dan lebih mengekor budaya luar daripada mempertahankan budaya sendiri.
Pemerintah pusat pun seakan mendukung lewat kebijakan-kebijakan yang hanya berfokus pada masalah "uang", di antaranya, besaran DD terus ditingkatkan dari tahun ke tahun, gaji aparat dibayarkan per bulan dari sebelumnya per tiga bulan, dan diizinkannya penggunaan 3% DD untuk operasional Kades Cs.
Selain itu, dalam tatanan pemerintahan desa sebelumnya, jabatan perangkat desa dan kepala dusun kerap dijadikan sebagai jabatan kompromistis sesuai kearifan lokal, untuk menetralkan tensi politik dan menyatukan kembali warga yang terbelah saat proses pemilihan kepala desa. Bukan melulu tentang "uang".
Umumnya, pelaksana kewilayahan (Kepala Dusun) diserahkan kepada para amaf karena mereka bisa menggerakkan dan mengarahkan warganya, sedangkan Kaur diangkat dari kaum muda utusan setiap dusun atas rekomendasi para amaf.
Dengan itu maka semua kepentingan politik akan terakomodasi dan kearifan para amaf tetap tersirat dalam setiap program di desa tersebut. Penyelenggaraan pemerintahan desa selanjutnya pun bisa berjalan adil dan demokratis.
Hal ini tidak lagi terlihat sejak kehadiran UU Desa dan turunannya. Syarat usia perangkat desa ditetapkan antara 20-42 tahun. Seleksinya pun diawali dengan tes tertulis oleh pihak kabupaten dan perangkat-perangkat itu tidak bisa digantikan hingga mereka berusia 60 tahun nanti.
Dengan sendirinya para amaf tersingkir dan tak ada lagi faktor pemersatu politik sebagaimana  kearifan lokal sebelum lahir UU Desa. Yang diandalkan sekarang untuk mempemersatukan warga adalah "uang" berwujud Dana Desa bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah yang diimplementasikan lewat aneka program kesejahteraan yang "dijanjikan" Kades terpilih.
Tatanan adat, budaya, dan kearifan lokal orang Timor yang sudah terbentuk sejak nenek moyang terkikis dan diubah dalam sekejap mengikuti syarat UU Desa. Pun, sudah jamak terjadi bahwa ketika "uang berbicara" maka janji hanya tinggal janji, kesejahteraan warga hanya tinggal impian.
Masalah lainnya lagi adalah pengangkatan aparat desa dilakukan oleh Kades lama yang menjabat saat pertama kali seleksi (di Kabupaten Timor Tengah Selatan diselenggarakan sekitar tahun 2019), dan tidak bisa diganti oleh Kades baru dengan mudah.
Harus ada alasan kuat untuk mengganti seorang aparat desa seperti,  meninggal dunia, telah berumur 60 tahun, terpidana minimal lima tahun penjara atau berhalangan tetap. Selain itu, penggantian aparat harus mendapat persetujuan dari Camat. (Permendagri No.67 Tahun 2017).
Kades terpilih wajib bekerja sama dengan perangkat desa yang diangkat sebelumnya walaupun tidak ada kecocokan dari segi visi--misi, skill, hingga manuver politik. Para amaf pun tidak bisa berperan lebih jauh karena semua keputusan lebih mengacu pada undang-undang bukan peraturan adat.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!