bukit Fatuhan, Kolbano, Timor, bisa mendekati 70° di dekat puncak (taksiran dengan google earth). Sedangkan di kaki bukit lebih landai. Dengan menggunakan tools pengedit foto, terbaca kemiringannya berada di kisaran 33°.
KEMIRINGAN lerengNah... Jika kita ingin membangun sebuah lopo (rumah adat orang Timor) dengan lebar 3 meter di lereng bukit itu, maka perlu dilakukan penggalian setinggi 1.95 m. Didapat dari: y = x.tan α = 3.tan 33° (Pelajaran matematika SMP dulu).
Sebagai gambaran, tinggi galian 1.95 m itu hampir setara dengan tinggi ambang pintu rumah kalian. Lihat dan bayangkan sendiri tingginya...!
Sekarang kita beralih ke animasi desain. Apakah di lokasi lopo-lopo itu berdiri terlihat ada galian setinggi 2 meter?
Dari empat buah lopo, hanya bangunan kedua dan keempatlah terlihat ada galian, itu pun tingginya mungkin cuma 1 meteran. Padahal semakin ke atas galian harusnya semakin tinggi, bisa > 6 meter.
Coba bandingkan juga lereng bukit desain dengan situasi asli di gambar ketiga (jangan fokus di longsoran). Apakah kemiringannya mirip? Orang Kolbano maupun masyarakat umum yg dulu melihat desain itu dengan jernih dan objektif pasti langsung tau kalau gambar itu hanyalah khayalan semata. Â
***
Pertanyaannya kini, "Desain begitu kok disetujui? Siapa yg harusnya bertanggung jawab?"
Konsultan perencana adalah pihak yg rasanya sulit untuk ditaruh di luar garis karena hancurnya #RealisasiProyekBukitFatuhan berawal dari sana. Namun, membebankan semua masalah hanya kepada desainer seorang pun rasanya kurang adil.
Gambar rencana tersebut termasuk RAB-nya tentu tidak muncul tiba-tiba. Pasti sudah di-acc dan ditandatangani oleh berbagai pihak penentu lolos tidaknya sebuah usulan proyek Dana Desa. Mulai dari Tim Pengadaan Barang dan Jasa (TPBJ), pendamping desa, fasilitator kecamatan hingga fasilitator kabupaten. Juga lembaga/dinas teknis terkait di berbagai level. Â
Baru BPD yang sejak awal sudah membantah telah  dilibatkan dalam perencanaan proyek itu.
Dari situlah baru kita beranjak ke pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Seperti: kenapa pendanaannya harus bersumber dari Silpa dengan alasan "RAB rincinya belum ada"? Apakah ini berarti total nilai proyek sudah ditentukan lebih dahulu barulah RAB-nya dibuat? Atau, apa maksud pernyataan itu?
Kemudian, kenapa jenis pekerjaan yg diumumkan ke publik berbeda dengan jenis pekerjaan yg direalisasikan? Kenapa pekerjaan yang diklaim akan menggunakan metode padat karya justru diserahkan kepada kontraktor? Dan seterusnya...
Semoga ada yg mau mengangkat tangan untuk menjawab poin-poin di atas, bukan malah mencuci tangan lalu menyodorkan pion-pion kecil untuk menjadi tameng.*
---------
Sumber gambar: selatanindonesia.com, fakta-tts.com, TVRI Kupang dan dokumentasi pribadi.
*) Baca artikel Hancurnya Keindahan Alam Kebanggaan Kolbano oleh Dana Desa untuk lebih tahu konteksnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H