| Parodi ini dilatarbelakangi oleh artikel Hancurnya Keindahan Alam Kebanggaan Kolbano oleh Dana Desa |
KALAU saja perang Kolbano, NTT, tidak terjadi pada tahun 1907 tapi tahun ini maka "para meo" akan menang telak. Berikut alasan dan perbandingannya.
 Perang Kolbano 1907 (Fakta)Â
Di kawasan Pantai Fatu Han-lah Boi Kapitan bersama Pehe Neolaka, Esa Taneo, Le'u Sabuna, Foni La'sen, Taela Kause, Kese Nenotaek dan puluhan meo (laskar) Kolbano lainnya bersiaga penuh selama lebih dari seminggu untuk mengadang serangan balik Belanda pada perang Kolbano tahun 1907.
Senjata andalannya adalah senapan tumbuk dan leu' musu (obat musuh) yang ditanam di jalan-jalan setapak di sekitar Fatu Han seperti Fatu Kleo, Oeboin, Fatu 'Pen Ika', Nisnu, Bia O'of, dan lain-lain.
Sebelumnya, pada 26 Oktober 1907, 20 orang serdadu Belanda diserang di Oemnasi Haen-Kolbano ketika mereka datang untuk menagih denda sebesar f. 500 rupiah kepada pemimpin Kolbano, Boi Kapitan (Boi bermarga Boimau, sedangkan Kapitan hanyalah julukan).
~ Rupiah di sini bukan nama mata uang tapi pecahan uang yg berlaku saat itu, bahasa daerahnya lapeo. Terbuat dari perak dan nilainya berada di bawah ringgit (panasmat) sebagai pecahan terbesar ~
Dari 20 orang  itu, 16 orang berhasil dibunuh sedangkan 4 orang lainnya meloloskan diri. Lalu, hanya 1 orang yang berhasil kembali ke markas Belanda di Kapan dan melaporkan insiden di Kolbano. Atas laporan itulah Belanda segera melakukan serangan balik.
Boi Kapitan telah memimpin para meo untuk mengadang di kawasan Fatu Han (kini lebih populer sebagai tempat wisata pantai Fatu Un). Leu' musu ditanam di semua ruas jalan yang kemungkinan dilewati pasukan musuh.
Penentuan Fatu Han sebagai lokasi penyergapan dan waktu kedatangan Belanda diprediksi lewat  ritual ote 'naus oleh para dukun yang diulang selama dua kali. Strategi penyergapan disusun bersama Meo Naek Tua Lakapu.
Masalah yang akan dialami ketika para serdadu musuh itu melintas dan menginjak/melanggar leu' musu-leu' musu tersebut adalah tiba-tiba mereka akan panik, bingung, hilang arah dan senjatanya tidak akan berfungsi normal. Saat itulah pasukan penjajah akan dihabisi dengan senapan tumbuk milik para meo.
(Penggunaan magis untuk melawan penjajah seperti ini mungkin mirip dengan magis kuda lumping yang juga dipakai di Pulau Jawa dulu).
Persis seperti prediksi ote 'naus, tentara Belanda datang menyerang lewat pintu timur Kolbano itu. Sayangnya, keberadaan Boi dan kawan-kawan di Fatu Han bocor oleh informasi dari seorang warga Nununamat bernama Osi Tlonaen bersama suaminya.
Pasukan kaes muti' (orang asing berkulit putih -- sebutan untuk Belanda) pun mengubah rute ke arah utara melewati lereng bukit ke arah Oe Uki, Fatu Oni, Oebubun hingga puncak Fatu Pene'. Dari situlah Belanda mulai membombardir sekaligus merengsek masuk ke wilayah Kolbano dengan mudah.
Taktik Boi Kapitan dan  pasukannya gagal, Kolbano pun kalah dan dikuasai Belanda.
(Kisah suasana di sekitar Fatu Han pada perang Kolbano 1907 yang disadur dari buku "KASE NAKA' POKE'; Sejarah Perlawanan Boi Kapitan Bersama Rakyat Kolbano Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Belanda, 26 Oktober 1907", karya Welhelmus Boimau, 2018).
***
Perang Kolbano 2021 (Parodi)Â
Bagaimana jika perang Kolbano terjadi 114 tahun kemudian alias tahun ini? Mungkin begini ceritanya.
Segera setelah mendapatkan hasil ote 'naus, "Boi Kapitan" menggelontorkan anggaran sebesar Rp. Â 1,5 M lalu memerintahkan arsitek untuk mendesain Fatu Han menjadi sebuah benteng berkonsep modern. Hasil desain itu langsung disetujui dan dipuji oleh para pejabat eksekutif - legislatif. "Konsepnya luar biasa," kata mereka.
Maka dibangunlah tangga seribu dan belasan gazebo dari pantai sampe ke puncak bukit. Dilengkapi dengan infrastruktur penting dan berkelas seperti tempat karaoke, villa, spot selfie, parkiran hingga lapak berjualan. Lantainya di-paving block biar kekinian. Tak ketinggalan WC/KM mewah senilai puluhan juta.
Awalnya rakyat Kolbano-lah yang akan mengerjakannya sendiri selama tiga tahap, tetapi supaya cepat dan tidak merusak alam maka "Boi Kapitan" memerintahkan agar pekerjaan diserahkan kepada kontraktor besar.Â
"Uang bisa dikembalikan tapi alam tak mungkin kalau sudah rusak," itu prinsipnya.
Alat berat pun dikerahkan untuk menggali jalur tangga di lereng bukit itu. Leu' musu ditanam menggunakan ekskavator, bahkan jalan setapak yang sudah ada ditabrak & diperlebar dengan oto' solo' (alat berat).
Seperti sulap! Proyek senyap Benteng Fatu Han rampung dalam sekejap dengan hasil sangat memuaskan.
Ide brilian tersebut membuat para meo tak harus bersembunyi di balik pohon dan batu untuk menyergap Belanda. Mereka hanya perlu menunggu pasukan kolonial dengan duduk-duduk di gazebo sambil karaoke lagu "Oto Bis Dis-tum-tum". Jika mengantuk, mereka berbaring sejenak di villa. Kedatangan pasukan kaes muti' dipantau dari spot foto sambil menikmati indahnya Pantai Kolbano.
Belanda pun berhasil dihalau dengan mudah. Denda Rp. 500 juta diselamatkan dari penjajah yang hendak menyengsarakan warga. Alamnya tetap indah lestari. Benteng modern Bukit Fatu Han lalu dijadikan tempat wisata berkelas internasional yang dikelola BUMDes. Rakyat Kolbano pun semakin aman dan sejahtera.*
---------
Diedit dari status Facebook pribadi (15/5/2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H