Mana mungkin waktu itu legal dan sedang di puncak eksploitasi tapi disebut cuma 5 fuso? Masuk hitungankah kalau hanya 5 kendaraan setara fuso yang mengangkut batu warna dari lahan tambang yang membentang lebih dari 30 Km dengan > 10 pengusaha dan ribuan masyarakat pengrajin?
Sudah remah-remah batu warna yang ditinggal, eh... retribusi yang didapat pun cuma remah-remah.
Lalu apa yang didapat masyarakat?
Tahun 2005, saya mendapati pasir Kolbano dijual Rp 10 ribu/ons untuk hiasan aquarium di sebuah pusat perbelanjaan di Bandung. Sementara saat itu di Pantai Kolbano dihargai Rp 8 ribu/karung. Dengan kata lain, pasir warna seharga Rp 8 ribu (@50 kg) di Kolbano itu dihargai di Bandung dengan harga Rp 5 juta. Pengrajin Kolbano hanya mendapat 0,16 % sedangkan keuntungan pengusaha dalam rantai bisnis pasir warna Kolbano-Bandung ini mencapai Rp 4.992.000 alias 62.400 %. Setelah 12 tahun berlalu, entah berapa harganya di sana sekarang, sementara di Kolbano belum beranjak.
Di Surabaya (2011) salah 1 varian batu warna Kolbano dijual eceran untuk hiasan taman dengan harga Rp 20 ribu/5 kg sementara di Kolbano per karung dihargai Rp 4 ribu. Artinya pengrajin yang sehari-hari berjemur ria mengumpulkan batu warna dari jam 6 pagi-jam 6 sore hanya kebagian 2 % sedangkan pengusaha dalam rantai pendek ini mendapat keuntungan Rp 196 ribu (4.900 %). Koral Kolbano juga ditawarkan secara online dengan kisaran harga Rp 45 ribu/15 kg (margin harga +/- 3.000 % alias di Jawa Rp 3.000/kg sedangkan di Kolbano Rp 100/kg).
Miris!!!
*
Silahkan anda renungkan sendiri. Saya hanya memberi gambaran tentang keprihatinan saya. Keprihatinan akan Pantai Kolbano dan sekitarnya yang sudah dijarah dan diobrak-abrik isinya.
Sambil mengenang kéa yang walaupun selalu berstigma tak memiliki otak tapi tidak pernah merusak pantai, meninggalkan lubang berantakan bahkan tidak membawa pergi 1 butir pasir pun dari 30-40 km Pantai Selatan TTS.*
*) Foto-foto: dokumentasi pribadi di Pantai Kolbano.