Pantai yang dulunya indah, rapi, tenang dan eksotis diobrak-abrik demi memenuhi kebutuhan tinggi batu warna di luar sana untuk hiasan taman, dinding, pedestrian, aquarium dll. Semak-semak tumbuhan tasi' dibabat habis. Bukan hanya radius 1 Km, tapi hingga 30-40 Km dari barat ke timur pesisir Kolbano. Kea-kea dulu entah bermigrasi kemana untuk melanjutkan regenerasi.
Kini yang tertinggal hanyalah remah-remah batu warna dan sebuah lubang raksasa tak kasat mata. Untuk bisa "melihat" lubang abstrak dimaksud, coba simak hitungan kasar ini:
25 tahun x 365 hr x 10 fuso x 15 m3 = 1.368.750 m3
Kalau volume 1,3 juta m3 itu dikonversi menjadi lubang dengan kedalaman 4 m dan lebar 10 m maka panjang lubangnya adalah:
1.368.750/(4x10) = 34.219 m alias 34,20 Km
Bayangkan! Dimensi lubang yang sudah terbentuk di sepanjang Pantai Kolbano adalah 4 m x 10 m x 34,20 Km. Lubang itu masih terus diperluas ke arah timur maupun barat tergantug sampai level kehancuran seperti apa yang diinginkan pengambil kebijakan sebelum akhirnya menyadari telah terjadi kerusakan parah lingkugan. Dan mirisnya lagi, yang diambil dari lubang itu adalah batu dan pasir warna kelas 1, mutu internasional!
*
BPS Kabupaten TTS mencatat batu warna yang terangkut dari Pantai Selatan TTS selama tahun 2008 adalah 47.353 ton atau sekitar 26.307 m3. Ini artinya dalam sehari hasil tambang berkualitas internasional ini hanya tercatat resmi sekitar 5 buah truk setara fuso berkapasitas 15 m3. Volume itu sama dengan lubang berdimensi 3 m x 3 m x 3 Km.
Benarkah ini? Karena fakta di lapangan bertolak belakang. Pada tahun-tahun itu aktivitas eksploitasi batu warna sedang berada pada puncakanya, dimana secara kasat mata bisa diperkirakan lebih dari 10 kendaraan fuso per hari, belum ditambah truk-truk kayu dan dump truck (+/- 3-5 m3). Tidak berlebihan menyebut sehari paling tidak 15 truk fuso telah membawa pergi batu warna yang indah khas Pantai Selatan TTS.