[caption id="attachment_380616" align="aligncenter" width="530" caption="www.biomagnetismo.pro"][/caption]
"Kak makannya banyak? Selera makan baik?" Tanya Mita, seorang teman sesama survivor Mielitis Transversa dalam obrolan BBM kami beberapa waktu lalu.
"Sekarang sudah baik Mit, lumayan banyak makannya, gak kayak dulu lagi," jawabku.
"Aku gak selera makan kak. Makannya dikit, suka mual." Cerita gadis 26 tahun itu tentang perkembangan nafsu makannya setelah sekitar 3,5 tahun menderita Mielitis Transversa.
Mita lalu bertutur tentang upayanya untuk mendongkrak nafsu makan baik secara alamiah hingga menggunakan obat yang mahal. Namun hingga kini usaha itu belum membuahkan hasil. Di saat hampir bersamaan, statistik blog juga mencatat kata kunci pencarian "terapi menelan pada mielitis transversa." Jadilah saya terusik berbagi pengalaman lewat artikel ini.
Nafsu makan memang merupakan sebuah momok bagi penderita Mielitis Transversa (silahkan bandingkan dengan berbagai referensi medis). Bagi penderita Mielitis Transversa, masalah nafsu makan ini cukup berbeda bila dibanding dengan penyakit lain (setidaknya menurut pengalaman saya). Bedanya adalah kalau pada penyakit lain, ketiadaan nafsu makan umumnya dipengaruhi oleh rasa tidak enak pada mulut atau gangguan lambung yang menolak adanya asupan makanan sehingga muntah atau sekedar mual-mual. Sedangkan pada penderita Mielitis Transversa, rendahnya nafsu makan lebih disebabkan oleh kesulitan menelan (disfagia), terlepas dari adanya komplikasi penyakit atau gangguan lain.
Awal saya diserang Mielitis Transversa 4,5 tahun lalu, selama kurang lebih seminggu asupan makanan dimasukkan lewat selang NGT (nasogastric tube, suatu selang pendek yang dimasukkan ke dalam lambung melalui hidung pasien yang mengalami gangguan fungsi menelan atau mengunyah). Setelah itu walaupun masih cukup sulit, saya sudah bisa menelan bubur sehingga selang NGT itu dilepas.
Kesulitan menelan ini terus berlangsung dan menjadi 'beban' tersendiri hingga sekitar 3 tahun kemudian. Awalnya saya mengonsumsi bubur setiap saat namun lama-kelamaan bosan juga sehingga kepingin makan nasi. Toh, tidak ada pantangan mengonsumsi makanan tertentu.
"Cepat ditelan, jangan terlalu lama 'memainkan' makanan dalam mulut," begitu komentar orang melihat bagimana saya seolah bermain-main dengan makanan dalam mulut dan enggan untuk menelannya.
Tidak segampang itu mengatasi masalah yang seharusnya berlangsung tanpa disadari ini. Gangguan saraf akibat Mielitis Transversa menyebabkan gerakan otot-otot sekitar kerongkongan yang mengatur proses menelan seolah tidak berkoordinasi dengan baik alias tidak padu. Otot-otot yang saya maksud adalah pangkal lidah, katup pernapasan dan kerongkongan (nama medis otot-otot itu apa ya?). Mungkin ada otot-otot lain yang terlibat tapi saya uraikan sesuai pemahaman saya sebagai awam saja.
Setiap gerakan pangkal lidah mendorong masuk makanan ke tenggorokan seolah tidak matching dengan tarikan napas. Setiap kali hendak menelan selalu timbul keraguan untuk menentukan timing yang tepat, ada ketakutan akan salah timing sehingga tersedak atau mungkin saluran napas tersumbat.
Ini bukan sekedar ketakutan semata tapi benar-benar terjadi, sering saya tersedak akibat salah menelan. Jalan napasku seolah tersumbat, rasanya hidup akan segera berakhir gara-gara salah menelan. Belum lagi tenggorokan terasa geli ketika dilewati makanan yang agak keras. Rasa mual dan tak jarang sampai muntah sudah pasti terjadi. Nafsu makanpun ikutan drop, makan cukup seadanya saja dari pada tersiksa gara-gara sulit menelan.
Tidak terlalu sulit kalau menelan air atau makanan yang lembek karena dalam satu tegukan makanan itu sudah melampaui katup pernapasan. Berbeda dengan makanan agak keras yang lebih lambat untuk bergerak masuk hingga melewati kerongkongan.
Saya sering mengadukan masalah ini ke dokter, mungkin ada obat atau terapi tertentu yang bisa membantu namun jawabannya, "terus diusahakan selagi masih bisa menelan." Saya dianjurkan mengonsumsi bubur atau makanan yang lembut saja. Duh! Sebuah 'siksaan' kalau sepanjang waktu saya harus mengonsumsi bubur padahal tidak ada larangan mengonsumsi makanan tertentu. Namun tidak mengapa dari pada terus bergantung pada obat. Harus disiasati agar bisa makan makanan yang lebih keras seperti nasi, sayuran, daging atau lainnya.
Resiko dari keinginan untuk makan makanan keras adalah saya harus mengunyahnya sampai lembut. Setiap kali makan saya selalu menghabiskan setidaknya 1 jam untuk mengunyah makanan hingga lembek dan mudah ditelan. Terkadang walaupun sudah mengunyah hingga lembut, masih juga sulit menelan. Saya pun menyiasatinya dengan cara minum air. Dengan bantuan air, makanan yang telah dikunyah lembek bisa ditelan dalam satu tegukan, kekhawatiran tersedakpun diminimlisir.
Cara itu saya terapkan setiap kali makan selama lebih kurang 3 tahun sebelum akhirnya perlahan-lahan saya sudah bisa menelan dengan lancar. Tidak ada lagi kesulitan menelan atau tersedak karena masuknya makanan ke saluran pernapasan. Rasa mual-mual pun hilang dengan sendirinya, menelan sudah berlangsung tanpa sadar dan bukan lagi sebuah momok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H