Di sudut kota yang ramai, di tepi jalan yang berliku, terdapat satu titik tempat pemilihan umum dilakukan. Suasana yang biasanya sunyi, berubah menjadi riuh.
Orang-orang dari berbagai kalangan, lapisan, dan generasi berbondong-bondong menuju tempat tersebut. Mereka adalah para pemilih, tiang utama dalam fondasi demokrasi.
Namun, pertanyaan menggelitik mengemuka di tengah berbagai pilihan, apakah pemilih masih memilih untuk golput?
Pemilihan Umum 2024 telah menjadi sorotan utama dalam percaturan politik Indonesia. Para kandidat memasang senyum termanis ribuan baliho, janji-janji manis disetiap kampanye, dan cita-cita yang menjulang tinggi di awan-awan.
Tentu, di antara panggung politik yang gemerlap, terdapat satu elemen yang menjadi penentu "pemilih". Mereka adalah suara yang akan membentuk masa depan, tetapi apakah suara itu akan diwakili di bilik suara?
Pada dasarnya, golput adalah sikap menarik diri dari proses politik. Sebuah keputusan yang sering dikaitkan dengan ketidakpercayaan, kekecewaan, atau bahkan ketidakpedulian terhadap sistem politik yang ada.
Melangkah ke lorong pemilihan, kita menemui beragam cerita dari para pemilih. Di antara mereka, terdapat Tasya seorang mahasiswi yang menggenggam kertas suara dengan tekad bulat.
Baginya, memilih bukan hanya hak, tetapi tanggung jawab. "Saya ingin memastikan bahwa suara saya didengar, bahwa kepentingan saya diwakili," ujarnya dengan mantap. Bagi Kamasan, golput bukanlah pilihan.
Sementara itu, di sisi lain lorong, terdapat Ones, seorang pekerja seniman yang ragu-ragu. Matanya memandang kertas suara dengan keraguan yang dalam.
"Saya tidak yakin ada yang berubah. Politik selalu sama, janji-janji manis tetapi realitasnya... saya tidak yakin," gumamnya pelan. Bagi Ones, golput terasa seperti bentuk protes, tapi dia juga merasa dilema.