Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Elisabet Tella, Kartini dari Nusa Kenari

10 Oktober 2023   00:53 Diperbarui: 10 Oktober 2023   01:32 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan yang coba menghibur duka dan memberi harapan pada iman ini kubuat untuk manusia yang tak dikenal dunia, negara, propinsi dan kabupaten, apalagi RT dan RW, tapi dia berharga di mata setiap orang susah dan menderita, yang berduka dan kehilangan harap__ yang dari wajah-wajah mereka Kristus dapat ditemukan.

Saya tertidur di jam 11 pagi sampai telat bergabung untuk makan siang. Sudah beberapa hari ini menjadi sulit tidur di malam hari. Meski badan rebah, mata terjaga. Banyak saat di mana harus menyendiri menyeka air mata. Bahkan menonton komedi pun seolah tragedi--- pilu dan hampa. Aku menangis di ruang TV, di meja makan, di kapela, di Gereja, di kamar tidur, di kamar mandi, di jalan raya, di belakang rumah, saat mengendarai kendaraan, saat dibonceng, tetap air mata ini tak bisa dibendung. Dan saya yakin, banyak orang yang kehilanganmu pun mengalami hal yang sama.

Bukan berarti tak ikhlas, tapi kenangan indah itu, entah bagaimana, menjadi melankoli. Baru siang ini, setelah beres-beres kamar, dan terlelap dalam tidur, kamu hadir di dalam mimpi.

"Aku berada di dalam mobil yang sedang melaju sambil memandang keluar. Gundah. Tapi kegundahan itu terhapuskan seketika, kala kulihat dari balik kaca mobil, dua orang ibu berkebaya lengkap dengan rambut yang disanggul, sambil berpegangan tangan pulang dari Gereja."

Sayangnya mimpinya terputus, waktu Bude membangunkanku untuk makan. Dengan lekas aku duduk di tempat tidur yang baru kuganti sepreinya, sambil tersenyum hati ini berbisik, "Kamu sekarang bahagia di Surga." Aku berbegas keluar, bergabung bersama dua saudaraku dan makan siang bersama. Usai makan siang dan memberi makan kucing, aku lalu masuk ke dalam Gereja, duduk di depan tabernakel, dan terkenang tawamu.

Kaka Bet, terimakasih untuk segalanya. Untuk uang, untuk kue, untuk makanan, untuk sabun dan odol gigi, untuk mobil, untuk nasehat, untuk doa, untuk tawa, untuk marah, untuk lelah dan capek, untuk keringat, untuk pengawasan, untuk duduk bersama dan mendengar segala celotehan, untuk sapaan dalam bahasa daerah yang menghangatkan hati, untuk keramahan dalam menerimaku di rumahmu, untuk bale-bale tempat kita bercerita, untuk waktu, untuk sorot matamu yang selalu penuh harap dan apresiasi, untuk sepuluh tahun terakhir (2013-2023) menjadi, tidak hanya saudara dan orang tua, tapi juga guru dan teman bercerita. Saya tidak bisa menyebutnya satu persatu dan, mengutip kata Katarina Mow Duka, ibuku, "Kami tidak bisa balas. Tidak bisa."

Saya ingat betul kala itu dalam rembangnya siang, saat hendak berangkat ke Yogyakarta usai menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral di Kupang. Saat keluar dari kamar makan, terdapat banyak panggilan tak terjawab di ponselku. Ketika kulakukan panggilan balik, suaramu terengah-engah menjawab dan menanyakan keberadaanku. Hatiku jatuh saat mendapatimu di depan gerbang Seminari, dengan peluh keringat karena jalan kaki di tengah terik mentari, hanya untuk memberiku uang dua ratus ribu.

Ah... Kaka Bet. Betapa kita tak bisa mengontrol waktu. Ia bagai air mengalir yang tak bisa digenggam. Terlalu cepat. Belum jua aku diurapi, padahal kau berjanji akan menghadiakanku sebuah sibori di saat tahbisan. Betapa aku sangat menghormatimu kaka perempuanku, "Naaye, Niwikai Ew" (Bahasa Kabola).

Jujur Aku sangat menghormatimu. Di waktu kecil, aku takut padamu karena warna mukamu yang mirip alm. Mama Besarku, Yustina Mow Duka. Dan beliau orangnya sangat tegas. Itulah sebabnya, di masa lalu, saat aku tahu kamu datang di Alor, kendati rumah kita berhadapan, aku tak mau menghampirimu. Tapi baru kusadari sekarang, kamu bukan seperti Elisabet saudari Maria yang menunggu untuk dikunjungi. Kamulah yang mengunjungi, kamulah yang menyapa, kamulah yang memberi.

Kendati kamu royal dalam kasih dan pemberian, kehormatanmu tetap kentara dan tegas dalam laku dan tuturmu. Cara jalanmu yang lambat seperti bangsawan, kalimatmu yang tertata bak bernada, dan penampilanmu yang sederhana tapi elegan menjadikanmu perempuan yang layak dan pantas untuk dikagumi dan dicontohi. Dan rasanya, bukan menyanjung, kalaupun keliru, kamu adalah perempuan Alor pertama yang kujumpai sedemikian komplit, seorang Kartini dari Pulau Kenari. Kamu cerdas dalam laku dan tutur, termasuk dalam mengolah budi dan rasa-merasa. Dan lebih dari itu, "Kamu Orang Kudus". Kematian menjemputmu dalam lelapnya istrirahatmu. Kamu seolah siap menjumpai cinta sejatimu, Kristus Yesus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun