Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Laudate Deum: Cara Baru Menghuni Bumi!

7 Oktober 2023   11:01 Diperbarui: 7 Oktober 2023   11:03 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam drama komedi1998 The Truman Show, terdapat karakter eponymous Truman Burbank, yang diperankan Jim Carrey. Sejak kelahirannya, Truman telah tumbuh di dunia buatan yang diciptakan untuknya oleh sebuah perusahaan televisi, di mana kehidupan sehari-harinya difilmkan oleh kamera tersembunyi dan disiarkan ke khalayak global. Secara dangkal, hidup itu nyaman dan aman. Tapi Truman tidak merasa betah. Akhirnya dia mengumpulkan keberanian berangkat, berlayar menuju cakrawala yang tidak diketahui.

Setelah beberapa waktu, dan yang sangat mengejutkannya, haluan perahunya membentur permukaan keras--- sebuah dinding logam, kubah besar dari TV tempat dia tinggal selama bertahun-tahun. Di adegan terakhir film, Truman dihadapkan pada pilihan. Haruskah dia kembali ke kehidupannya dan melanjutkan kehidupannya seperti sebelumnya? Atau haruskah dia melewati tembok untuk menghadapi dunia nyata yang ada di baliknya? Yang dipertaruhkan adalah masa depannya, martabatnya, dan kemanusiaannya.

Kisah Truman menjadi perumpaan menarik untuk membaca Nasihat Apostolik Paus Fransiskus Laudate Deum yang baru dirilis pada 04 Oktober 2023, tepat pada hari raya Santo Fransiskus dari Assisi. Dalam nasihat apostoliknya tersebut, Paus juga memberi kita pilihan untuk melangkah dengan berani, meski hanya tentatif, ke arah yang baru: sebuah cara baru menghuni bumi.

Bapa Suci mengawali nasehatnya dengan kritik terhadap masyarakat Barat dan "paradigma teknokratisnya" (20) yang berkeyakinan bahwa melalui kecerdasan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi, manusia mempunyai hak untuk mengambil apa pun yang mereka perlukan dan apapun yang mereka inginkan. Pola pikir seperti ini bahkan diterapkan oleh mereka yang terlibat secara konstruktif dalam krisis lingkungan hidup. Contohnya saja The Breakthrough Institute sebuah komunitas pemikir di AS yang anggotanya mencakup ilmuwan terkemuka dan intelektual publik.

Breakthrough Institute menganjurkan apa yang mereka sebut strategi "Good Anthropocene" yang idenya adalah bahwa teknologi berskala besar yang diciptakan manusia dapat menstabilkan dan membalikkan dampak perubahan iklim, bahkan ketika masyarakat masih melanjutkan gaya hidup yang memperkeruh masalah perubahan iklim. Dengan ini, diharapkan pola konsumsi dan pertumbuhan (negara barat) dapat dipertahankan sebagaimana adanya di masa depan yang tidak terbatas.

Di sinilah Paus Fransiskus mengajak kita menganalisis motif-motif yang mendasari paham lingkungan hidup di dunia kontemporer, bahkan meski demi kebaikan sekalipun. Memang benar, "kemajuan teknologi mengesankan dan mengagumkan" (28), namun "tidak setiap kemajuan mewakili kemajuan umat manusia" (24). Terutama jika teknologi memperkuat asumsi bahwa dunia tidak lain hanyalah "objek eksploitasi" (25).

Oleh karena itu Paus Fransiskus menyerukan pembentukan kembali nilai-nilai dan orientasi fundamental kita untuk mencari kekuatan yang "mengubah kehidupan, mengubah tujuan dan menyoroti hubungan kita dengan orang lain dan dengan ciptaan secara keseluruhan" (61).

Mungkin seperti Truman, kita juga sedang berdiri di ambang pintu. Kita merasakan ada yang tidak beres dengan hubungan kita dengan bumi. Namun jika kita memilih untuk maju dan hidup dengan cara yang berbeda, dunia apa yang akan kita hadapi? Bapa Suci kemudian menawarkan kita dua konsep.

Yang pertama adalah 'interkonektivitas' (57). Paradigma teknokratis menimbulkan perasaan dislokasi atau sesuatu yang disebut Alfred North Whitehead 'percabangan manusia dari alam: kita mulai melihat alam "hanya sebagai tempat di mana kita mengembangkan kehidupan dan proyek" (25). Sebaliknya, kita sendiri adalah  "bagian dari alam" (25). Paus bahkan menyinggung karya ekofeminis Amerika Donna Haraway yang menyebut 'spesies pendamping', dan bumi sebagai 'zona kontak' antara manusia dan non-manusia.

Tentu saja, ini bukan untuk mengklaim kesetaraan ontologis antara keduanya. Pilar utama tradisi Ajaran Sosial Katolik adalah martabat mutlak kehidupan manusia. Namun martabat ini "tidak dapat dipahami dan tidak dapat dipertahankan tanpa makhluk lain" (67)--- "Visi kosmos Yudaeo-Kristen membela nilai unik dan sentral umat manusia di tengah konser menakjubkan semua makhluk Tuhan" (67).

Hal ini mengarah pada konsep kedua, yakni "keseimbangan". Memahami diri kita yang saling terhubung dengan makhluk lain berarti memahami diri kita berada dalam sistem planet yang menyediakan kondisi di mana kehidupan dapat berkembang. Pilihan dan perilaku kita harus dievaluasi berdasarkan potensi dampaknya terhadap keseimbangan ini. Mengutip Laudato si', Fransiskus menulis: "Tanggung jawab terhadap bumi milik Tuhan berarti bahwa umat manusia, yang diberkahi kecerdasan, harus menghormati hukum alam dan keseimbangan yang ada di antara makhluk-makhluk di dunia ini" (62).

Hal tersebut tidak mengurangi hak pilihan manusia. Karena jejak kita di bumi mempunyai dampak yang unik dan berisiko menimbulkan titik kritis yang mungkin sulit atau tidak mungkin untuk dipulihkan: "Kita telah berubah menjadi makhluk yang sangat berbahaya" (28).

Seperti halnya Laudato si', diterbitkan sebelum konvensi iklim Paris pada 2015, nasihat ini jelas dirancang sebagai kontribusi terhadap COP28 yang akan berlangsung di Dubai pada November 2023. Semua hal-hal praktis ini dibingkai oleh wawasan filosofis, sosiologis dan teologis. Jika dunia saling terhubung, dan jika pilihan serta perilaku manusia peka terhadap keseimbangan sistem planet, bentuk politik baru mungkin bisa terwujud.

Paus Fransiskus kemudian menyerukan "diplomasi multilateral" (41). Hal ini didasarkan pada keterwakilan sebanyak mungkin pemangku kepentingan yang menempati ruang di muka bumi ini, terutama mereka yang seringkali terpinggirkan, dan termasuk aktor-aktor non-manusia yang tidak mempunyai "suara" sama sekali. Kita harus memperhatikan "jeritan bumi" sama seperti "jeritan orang miskin".

Sampai pada titik ini, kita tahu bahwa Paus Fransiskus sedang mengundang kita semua "untuk menemani ziarah rekonsiliasi dengan bumi yang merupakan rumah kita" (69). Dan seperti Truman, kita sedang berada di ambang pintu untuk bergerak ke arah yang baru. Beranikah kita mengambil langkah pertama?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun