Hi Bry.....
Bagaimana kabarmu!
Seperti biasa saya memilih menyurati agar bisa bercerita lebih panjang dari sekadar memastikan keadaan dan keberadaanmu. Saya harap di tengah kesibukanmu mempersiapkan tahbisan diakonat kamu dapat membaca surat ini. Anggaplah renungan perjalanan, atau, etahlah! Yang terpenting, kamu dalam keadaan baik-baik saja saat membaca surat ini. Karena kesehatanmu adalah jaminan utopis kalau kita, suatu saat nanti, dapat bercakap-cakap dari muka ke muka.
Sebelumnya, surat ini saya buat di puncak danau Kelimutu, danau tiga warna yang terkenal di Pulau Ende. Tentang Ende tentu kamu pernah mendengarnya. Ia dijuluki kota lahirnya Pancasila dan dalam catatan sejarah Sukarno pernah diasingkan di tempat ini.
Menurut cerita para klerus di sini, ketika Sukarno tiba di pulau Ende untuk menjalani masa pengasingannya antara 1934-1937, sebagai seorang idealis, dia tidak memiliki rekan berdialog atau bercakap yang sepadan. Maklumlah, orator ulung, menurut mereka, visioner kebangsaan, berjumpa dengan pribumi Ende yang tanpa visi (kata mereka waktu itu), berpikir hanya tentang pagi dan malam---tanpa masa depan--- tentang bagaimana bisa bertahan hidup. Alhasil, Sukarno banyak mengunjungi seminari-seminari karena baginya, di tempat demikianlah dia menemukan rekan bicara yang sepadan. Â Â
Tentang rekan bicara yang sepadan inilah yang membuat saya selalu mengingatmu, atau jika tidak berlebihan, merindukanmu.
"Sepadan" bagi saya bukan hanya soal kesamaan visi, tapi juga emosi. Atau dalam termin generasi sekarang "sefrekuensi". Tapi saya juga tidak ingin jatuh pada kosa kata milinearisme yang menyederhanakan "sefrekuensi" menjadi sekadar kesamaan kesukaan, olah rasa yang berujung pada fanatisme rasional, kesamaan ide--- analogical principle of knowledge: Like is known by Like. Kadang untuk sampai pada kejernihan cara berpikir, kita butuh oposisi--- dialectical principle of knowledge: Like is known by its opposite.Â
Bry! Saya masih mengingat pesanmu sewaktu saya baru saja selesai melewati program Tanur di novisiat akibat penundaan tahbisan diakonat:
"Semangat kawan. Saya tahu rasanya ditunda, karena pernah mengalami. Setiap proses pasti memiliki anuggerah. Potensimu banyak, sayang bila tidak menjadi berkat bagi sesama." (Whats Up: 26 Juni 2023).Â
Pesan ini bagi saya berarti. Bukan karena semata-mata kalimatmu yang bernas, tapi kamu memberi di saat yang tepat. Dan yang lebih utama adalah itu datang dari kerabat sendiri.
Ahhh! Jangan besar kepala bila saya selalu memuji. Karena bagaimanapun, saya pun kurang setuju dengan kalimat keempatmu. Pertanyaan saya sederhana: apakah menjadi berkat itu membutuhkan banyak potensi, doing dan bukan being? Apakah menjadi berkat juga membutuhkan validasi dari orang lain?
Selama dua bulan bermisi di Paroki Santo Marinus Puurere ini, saya telah dua kali memberi komuni orang sakit dan dua kali memberi baptis darurat. Sekadar informasi, seorang ibu yang saya berikan komuni orang sakit dan juga dua bayi yang saya baptis (satu laki-satu perempuan) telah meninggal dunia. Saya yakin kamu juga pernah mengalaminya sewaktu di paroki. Meski refleksi kita tentu berbeda.
Bry! Pelayanan kepada mereka di ambang batas tidak membutuhkan, bagi saya, potensi yang banyak. Karena saya hanya membawa beberapa potong hosti yang telah dikonsekrasi, buku doa yang telah terangkai kalimat bakunya, dan air berkat. Karena yang terpenting adalah kehadiran. Dan inilah yang menyentuhku. Keluarga mereka yang sakit atau yang menemui ajal tidak pernah memuji atau memberi "ucapan" terimakasih publik dan menular sebagaimana yang biasa saya dapatkan usai ceramah atau memberi renungan di paroki atau dalam kegiatan kategorial lainnya. Tidak.
Mereka hanya menampakan wajah keluh namun tersamar di dalamnya ungkapan syukur, bahwa di tengah kesendirian, mereka merasa ditemani--- consolatio, meminjam termin mendiang Benediktus XVI, con: bersama, solatio: sendiri. Dan itu mendidik altruisme saya.
Ini bukan sekadar deontologi Kant atau penyandraan subjek akibat enigma wajah Levinas. Saya tidak ingin terjerumus pada integrasi yang mengabaikan metodologi. Ini, lebih tepatnya, sebuah revolusi kelembutan kasih (tenderness). Bahwasannya kelembutan kasih adalah bahasa yang dapat dilihat oleh orang buta, didengar oleh orang tuli, dan diceritakan oleh orang yang bisu. Dan itu membutuhkan pertimbangan nilai yang jauh lebih kaya dari sekadar hubung-menghubungkan prinsip-prinsip filosofis (atau juga moralitas). Sekiranya itulah alasan saya untuk tidak terlalu cepat mengaminkan kalimat keempatmu.
Hhhhh! Akhirnya aku masih seperti yang dulu meski "jalan sepi" yang telah kulalui sejauh ini perlahan menuju di tepian.
Semoga Tuhan menjagamu dan panggilanmu. Mengaminkan segala yang disemogakan dalam pergumulanmu selama ini. Dan semoga rahmat tahbisan diakonat yang akan kamu terima menjadi berkat bagi dirimu sendiri, keluarga, kongregasi, dan bagi banyak orang.
Kututup surat ini dengan doa salam Maria yang akan selalu mendoakan kita sampai "pada waktu kami mati." Amin.
Salam In Corde Matrix
Kerabatmu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H