Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sejauh Ini!

13 September 2023   08:42 Diperbarui: 13 September 2023   09:14 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ahhh! Jangan besar kepala bila saya selalu memuji. Karena bagaimanapun, saya pun kurang setuju dengan kalimat keempatmu. Pertanyaan saya sederhana: apakah menjadi berkat itu membutuhkan banyak potensi, doing dan bukan being? Apakah menjadi berkat juga membutuhkan validasi dari orang lain?

Selama dua bulan bermisi di Paroki Santo Marinus Puurere ini, saya telah dua kali memberi komuni orang sakit dan dua kali memberi baptis darurat. Sekadar informasi, seorang ibu yang saya berikan komuni orang sakit dan juga dua bayi yang saya baptis (satu laki-satu perempuan) telah meninggal dunia. Saya yakin kamu juga pernah mengalaminya sewaktu di paroki. Meski refleksi kita tentu berbeda.

Bry! Pelayanan kepada mereka di ambang batas tidak membutuhkan, bagi saya, potensi yang banyak. Karena saya hanya membawa beberapa potong hosti yang telah dikonsekrasi, buku doa yang telah terangkai kalimat bakunya, dan air berkat. Karena yang terpenting adalah kehadiran. Dan inilah yang menyentuhku. Keluarga mereka yang sakit atau yang menemui ajal tidak pernah memuji atau memberi "ucapan" terimakasih publik dan menular sebagaimana yang biasa saya dapatkan usai ceramah atau memberi renungan di paroki atau dalam kegiatan kategorial lainnya. Tidak.

Mereka hanya menampakan wajah keluh namun tersamar di dalamnya ungkapan syukur, bahwa di tengah kesendirian, mereka merasa ditemani--- consolatio, meminjam termin mendiang Benediktus XVI, con: bersama, solatio: sendiri. Dan itu mendidik altruisme saya.

Ini bukan sekadar deontologi Kant atau penyandraan subjek akibat enigma wajah Levinas. Saya tidak ingin terjerumus pada integrasi yang mengabaikan metodologi. Ini, lebih tepatnya, sebuah revolusi kelembutan kasih (tenderness). Bahwasannya kelembutan kasih adalah bahasa yang dapat dilihat oleh orang buta, didengar oleh orang tuli, dan diceritakan oleh orang yang bisu. Dan itu membutuhkan pertimbangan nilai yang jauh lebih kaya dari sekadar hubung-menghubungkan prinsip-prinsip filosofis (atau juga moralitas). Sekiranya itulah alasan saya untuk tidak terlalu cepat mengaminkan kalimat keempatmu.

Hhhhh! Akhirnya aku masih seperti yang dulu meski "jalan sepi" yang telah kulalui sejauh ini perlahan menuju di tepian.

Semoga Tuhan menjagamu dan panggilanmu. Mengaminkan segala yang disemogakan dalam pergumulanmu selama ini. Dan semoga rahmat tahbisan diakonat yang akan kamu terima menjadi berkat bagi dirimu sendiri, keluarga, kongregasi, dan bagi banyak orang.

Kututup surat ini dengan doa salam Maria yang akan selalu mendoakan kita sampai "pada waktu kami mati." Amin.

Salam In Corde Matrix

Kerabatmu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun