Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Allah Telah Mati, dan Yesus Kristus Pembunuh-Nya"

17 Februari 2022   01:04 Diperbarui: 17 Februari 2022   01:36 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://churchlifejournal.nd.edu/articles/god-is-dead-and-jesus-christ-killed-him-on-christian-transvaluation/

"Tuhan sudah mati", Nietzsche katakan dalam aforisme 125, dan Balthasar secara provokatif, mengutip Ernst Bloch, menyambung, "Yesus Kristus membunuhnya". Teori "Kematian Tuhan" adalah penyelesaian hukum batin sejarah hasrat dalam drama "Dionysus versus the Crucified" atau "Kristus versus anti-Kristus"--- sejarah penebusan hasrat ciptaan, untuk "menjadi seperti Allah" (Kej. 3:5). 

Hasrat sejarah yang penuh kekerasan, kebodohan, dan kegilaan dalam drama sejarah. Pertanyaannya, "Tuhan atau badut," kata Nietzsche. Namun dalam transvaluasinya, "atau" selalu "sebagai", Tuhan "sebagai" badut. Lantas kepada badut Tuhan mana kita bersujud? "Festival Keledai" Nietzsche yang menandakan bermensch atau Kristus sebagai badut?

Vox clamantis in deserto, ada suara yang berseru di padang gurun. Roh mengarah ke padang gurun. Di gurun orang menemukan batas-batas kebebasan dan hasrat. Di gurun ini kemampuan manusia untuk menolak atau menerima cinta dan penebusan Allah diuji.

Friedrich Nietzsche tentu adalah figur yang sulit dipahami. Seperti Heraclitus, Nietzsche seorang Riddler yang, "meniru seorang aktor". Dia, kadang-kadang, seorang buffo (pembadut), histrio, mimomaniac--- seorang penggoda, pesulap topeng yang memikirkan pertunjukan, permainan dalam permainan--- pemikir samar-samar dalam mencari asal metafisik yang gelap, dan oleh karenanya, sulit untuk tetap acuh tak acuh terhadap Nietzsche. Karena, sehubungan dengan hasrat, Nietzsche memuja dan mendewakan diri sendiri.

Dalam "Strategies of Madness" karya Ren Girard, hubungan Nietzsche dengan Kekristenan bersifat laten (63). Menurutnya, Nietzsche adalah apologet negatif untuk Kekristenan. Dia tersandung pada radikalitas Salib dan sesuatu tentang ketidakbersalahan para korban.

Jika dalam aforisme 125, Nietzsche memproklamirkan kemenangan abadi atas Kekristenan, dia juga berbicara tentang The Founding Murder, "penemuan pembunuh". Nietzsche terikat oleh kemenangan Salib. Di sini "Sejarah mulai sekarang menginjak ruang tanpa dasar pengetahuan Kristen". Bagi Girard, Nietzsche mengumumkan pengakhiran sejarah Kristen.

Perlu disadari, salah satu tugas penting pemikiran Kristen adalah mengungkap dan memalsukan pemalsuan. Pemalsuan besar-besaran Nietzsche diperlihatkan dalam ungkapan The Will to Power yang diterbitkan secara anumerta, dalam "The Roman Caesar with the Soul of Christ". 

Pernyataan yang demikian, menurut William Desmond, hanya mengimplikasikan pertanyaan tentang antikristus. Sampai di sini sepertinya Desmond dan Girard berdiri dalam ruang apokaliptik Kristen yang sama, ruang parodia sacra, di mana pemalsuan Tuhan-manusia oleh Dewa antikristus terlibat.

Untuk merenungkan klaim Kaisar-Kristus, kita harus memasuki padang gurun. Desmond merujuk pada gurun-belantara yang adalah parodi dari gurun-gurun di mana Kristus dicobai oleh Setan, dan pencobaan Nietzsche adalah pencobaan terakhir Kristus (menurut injil Lukas), yakni kesombongan rohani, superbia, untuk mencobai Tuhan. 

Obsesi Nietzsche ini merupakan hasrat untuk menjadi lebih besar secara rohani daripada Kristus. Niatnya untuk membuat jejaknya selama ribuan tahun, untuk menulis ulang, dan untuk menilai kembali cara kita mengurutkan sejarah. Saatnya telah tiba dan dia datang untuk menulis "injil kelima", Demikian kata Zarathustra.

Seperti yang dipahami Girard, Nietzsche memainkan peran penyembah dan disembah pada saat yang sama. Peran ganda ini tidak bisa bertahan lama. Itu berakhir dengan kehancuran total, malam tanpa pembedaan. Di sini dia yang dulunya Dionysus sekarang Disalibkan. 

Kristus adalah Dionysus, Dionysus adalah Kristus, oposisi pecah menjadi ketidakjelasan. Sebuah langkah kecil menuju catatan klinis rumah sakit jiwa di Jena di mana pasien diolesi kotorannya sendiri, makan kotorannya sendiri, dan dicuci dengan air kencingnya sendiri.

Giuseppe Fornari dalam A God Torn to Pieces: The Nietzsche Case (2013), menggambarkan secara gamblang bahwa hantu iblis menghantui Nietzsche selama sebagian besar hidupnya. Dalam sebuah teks dari tahun 1868-1869, Nietzsche menulis: "Yang saya takutkan bukanlah sosok mengerikan di belakang kursi saya, tetapi suaranya; dan bukan kata-katanya, tetapi nada yang sangat tidak jelas dan tidak manusiawi dari sosok ini. Andai saja ia berbicara sebagaimana manusia berbicara (87)."

Apakah "nada tidak manusiawi" inilah yang melolong Nietzsche di rumah saudarinya di hari-hari terakhir kegilaannya? Seperti yang dicatat Fornari, yang paling mengerikan adalah Nietzsche menggambarkan penampakan ini sebagai frequent visitor, "pengunjung rutin". Nietzsche menulis, "I know the devil and the perspective from which He looks towards God" (86).

Fornari lalu mengajukan pertanyaan, apakah Nietzsche diampuni Kristus. Dan dia tepat menjawab pertanyaan yang tak seorang pun tahu. Karena untuk diampuni seseorang harus menerima pengampunan. Seperti ditulis Girard, "Apa yang hebat dari Nietzsche bukanlah bahwa dia mendapatkan sesuatu yang benar tetapi dia membayar mahal untuk kesalahannya" (76). 

De Lubac memiliki pandangan serupa dalam Nietzsche as Mystic: "Nietzsche menemukan inosensnya yang telah dia cari begitu lama--- tetapi secara tidak sadar. Mistikus tidak membutuhkan siapa pun untuk membantahnya. Dia menangani tugas ini sendiri (509)." Nietzsche gagal menjadi Overman. Dia menjadi korban yang termakan oleh iblis, korban yang termakan oleh kebebasan dan hasrat mimesisnya sendiri.

Tapi mungkin Nietzsche selalu tahu bahwa dia sebenarnya bukan antikristus. Mungkin dia mengerti bahwa dia hanyalah seorang pelopor dan bahwa persona antikristus adalah yang terlemah. 

Bukankah kepribadiannya yang sebenarnya adalah "Zarathustra yang tak bertuhan", sebuah suara yang berseru di padang gurun? Lantas, sebetulnya Nietzsche memparodikan Kristus atau Yohanes Pembaptis? Pada akhir Esai Kedua The Genealogy of Morals, dia membuat ramalan yang mengerikan:

Manusia masa depan ini, yang akan menebus kita tidak hanya dari cita-cita yang berkuasa sampai sekarang tetapi juga dari apa yang pasti akan tumbuh darinya, .... Antikristus dan antinihilis ini; pemenang atas Tuhan dan ketiadaan--- dia harus datang suatu hari nanti.--- (24-25) 

Nietzsche mengakhiri semuanya dengan mengatakan "cukup", dia harus tetap diam agar tidak merebut tempat Zarathustra. Nietzsche membawa kita ke padang gurun hanya untuk mengumumkan apa yang akan datang. Namun yang pasti, mungkin "sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak" (1 Yohanes 3:2).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun