Seperti yang dipahami Girard, Nietzsche memainkan peran penyembah dan disembah pada saat yang sama. Peran ganda ini tidak bisa bertahan lama. Itu berakhir dengan kehancuran total, malam tanpa pembedaan. Di sini dia yang dulunya Dionysus sekarang Disalibkan.Â
Kristus adalah Dionysus, Dionysus adalah Kristus, oposisi pecah menjadi ketidakjelasan. Sebuah langkah kecil menuju catatan klinis rumah sakit jiwa di Jena di mana pasien diolesi kotorannya sendiri, makan kotorannya sendiri, dan dicuci dengan air kencingnya sendiri.
Giuseppe Fornari dalam A God Torn to Pieces: The Nietzsche Case (2013), menggambarkan secara gamblang bahwa hantu iblis menghantui Nietzsche selama sebagian besar hidupnya. Dalam sebuah teks dari tahun 1868-1869, Nietzsche menulis: "Yang saya takutkan bukanlah sosok mengerikan di belakang kursi saya, tetapi suaranya; dan bukan kata-katanya, tetapi nada yang sangat tidak jelas dan tidak manusiawi dari sosok ini. Andai saja ia berbicara sebagaimana manusia berbicara (87)."
Apakah "nada tidak manusiawi" inilah yang melolong Nietzsche di rumah saudarinya di hari-hari terakhir kegilaannya? Seperti yang dicatat Fornari, yang paling mengerikan adalah Nietzsche menggambarkan penampakan ini sebagai frequent visitor, "pengunjung rutin". Nietzsche menulis, "I know the devil and the perspective from which He looks towards God" (86).
Fornari lalu mengajukan pertanyaan, apakah Nietzsche diampuni Kristus. Dan dia tepat menjawab pertanyaan yang tak seorang pun tahu. Karena untuk diampuni seseorang harus menerima pengampunan. Seperti ditulis Girard, "Apa yang hebat dari Nietzsche bukanlah bahwa dia mendapatkan sesuatu yang benar tetapi dia membayar mahal untuk kesalahannya" (76).Â
De Lubac memiliki pandangan serupa dalam Nietzsche as Mystic: "Nietzsche menemukan inosensnya yang telah dia cari begitu lama--- tetapi secara tidak sadar. Mistikus tidak membutuhkan siapa pun untuk membantahnya. Dia menangani tugas ini sendiri (509)." Nietzsche gagal menjadi Overman. Dia menjadi korban yang termakan oleh iblis, korban yang termakan oleh kebebasan dan hasrat mimesisnya sendiri.
Tapi mungkin Nietzsche selalu tahu bahwa dia sebenarnya bukan antikristus. Mungkin dia mengerti bahwa dia hanyalah seorang pelopor dan bahwa persona antikristus adalah yang terlemah.Â
Bukankah kepribadiannya yang sebenarnya adalah "Zarathustra yang tak bertuhan", sebuah suara yang berseru di padang gurun? Lantas, sebetulnya Nietzsche memparodikan Kristus atau Yohanes Pembaptis? Pada akhir Esai Kedua The Genealogy of Morals, dia membuat ramalan yang mengerikan:
Manusia masa depan ini, yang akan menebus kita tidak hanya dari cita-cita yang berkuasa sampai sekarang tetapi juga dari apa yang pasti akan tumbuh darinya, .... Antikristus dan antinihilis ini; pemenang atas Tuhan dan ketiadaan--- dia harus datang suatu hari nanti.--- (24-25)Â
Nietzsche mengakhiri semuanya dengan mengatakan "cukup", dia harus tetap diam agar tidak merebut tempat Zarathustra. Nietzsche membawa kita ke padang gurun hanya untuk mengumumkan apa yang akan datang. Namun yang pasti, mungkin "sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak" (1 Yohanes 3:2).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H