Namun, bagi orang-orang sezamannya, tidak cukup hanya pada pengamatan empiris dalam menyajikan alternatif untuk kebijaksanaan yang sudah mapan. Mereka tahu bahwa indra kita subjektif. Apa yang dianggap seseorang sebagai makanan pedas mungkin terasa hambar bagi orang lain, misalnya; dan, dalam ilusi optik, garis sejajar dapat dibuat tampak bengkok dengan arsir silang.
Bagi mereka, penggunaan teleskop oleh Galileo hanya memperkenalkan cara lain yang bisa membuat indra tertipu. Dan menurut standar mereka, Galileo tidak memberi mereka bukti yang cukup untuk mempercayainya
Sangat tidak masuk akal menggambarkan orang-orang sezaman Galileo sebagai irasional. Sebaliknya, berdasarkan kriteria pada zaman mereka, itu sangat rasional, dan itulah mengapa mereka tidak mempercayainya!
Apa yang terjadi di sini adalah sebuah revolusi, bukan hanya soal cara melihat dunia, melainkan cara berpikir tentang pengetahuan dan pembuktian. Kita bisa saja simpati dengan Galileo, karena diajar untuk berpikir seperti dia: bahwa bukti empiris yang dikumpulkan melalui indera dalam pengamatan dimaksudkan untuk menetapkan poin-poin setegas mungkin.
Namun, orang-orang sezamannya tidak memberikan bukti empiris status yang sama. Sederhananya, mereka berpikir secara berbeda; dan kita tidak dapat dan tidak boleh mengharapkan mereka berpikir seperti kita. Melakukannya berarti bersalah atas provinsialisme historis kronis, "Masa lalu adalah bangsa asing"--- mereka tidak hanya melakukan sesuatu secara berbeda di sana, mereka juga berpikir tentang hal-hal yang berbeda.
Ketika maju ke zaman Darwin, kita menemukan faktor politik dan sosial sama pentingnya dalam cara orang-orang sezamannya menangani ide-idenya. Namun, pertama-tama, menarik untuk mengamati dari mana ide-ide itu berasal. Darwin menggunakan banyak sumber dalam merumuskan gagasannya, tetapi tiga di antaranya mungkin memiliki makna khusus.
Pertama, ia menggunakan pengamatannya sendiri terhadap alam. Yang paling terkenal adalah kutilang yang diamati Darwin di pulau-pulau Galapagos: burung yang sangat mirip, tetapi telah menyesuaikan bentuknya di setiap pulau agar sesuai dengan habitat masing-masing. Perbedaan bentuk dari nenek moyang yang sama selama periode waktu yang lama menawarkan penjelasan yang sangat baik tentang pengamatan ini.
Kedua, Darwin sangat mengacu pada Essay Thomas Malthus (1766-1834) tentang Prinsip Populasi. Bagi Malthus, jika umat manusia berkembang biak tanpa batasan apa pun, populasi dunia akan berlipat ganda hanya dalam 25 tahun. Tetapi umat manusia tidak berkembang biak begitu cepat, dan alasannya karena manusia berjuang untuk sumber daya yang tersedia, dan rentan terhadap penyakit, kelaparan, perang, dan pemangsaan lainnya.
Kesimpulan suram Malthus adalah yang lemah dalam masyarakat pasti akan mati karena tertinggal dalam perjuangan untuk hidup. Kejeniusan Darwin adalah kesadaran bahwa individu-individu yang bertahan cukup lama untuk berkembang biak akan mewariskan kepada keturunan mereka persis seperti ciri-ciri yang melengkapi mereka untuk bertahan hidup dalam relung ekologi yang mereka tempati.
Ketiga, Darwin memanfaatkan ilmu geologi yang sedang berkembang. Ahli geologi menduga bahwa formasi batuan kompleks dihasilkan oleh proses yang sama seperti yang dapat diamati saat ini: letusan gunung berapi, pengendapan sedimen di laut, dan seterusnya.
Mengapa ini penting bagi Darwin? Karena menunjukkan bahwa bumi itu sangat-sangat tua: ada skala waktu yang memungkinkan variasi kecil dan acak pada tumbuhan dan hewan terakumulasi melalui banyak generasi, yang mengarah pada keanekaragaman flora dan fauna.