Sampai saat ini, pertanyaan bagaimana Tuhan yang mahakasih dan mahakuasa menciptakan dunia di mana begitu banyak orang menderita masih menjadi fokus tajam. Kejahatan moral dari pembunuhan massal, pemerkosaan dan penyiksaan oleh manusia yang mencintai kebebasan setidaknya memiliki pembelaan kehendak bebas. Tapi Covid-19?
Kalian tentu mengenal proses evolusi. Ada informasi bahwa duri di alam ada jauh sebelum munculnya Homo Sapiens. Memang, penyakit dan kematian, menurut teori seleksi alam Darwin, merupakan bagian integral dari suatu perkembangan yang melaluinya informasi genetik dihilangkan, diteruskan, dan disempurnakan selama penciptaan--- ini bukan hanya sekadar wawasan ilmu biologi. Bahwa hidup dan mati bagai cahaya sinar ciptaan yang selalu memberikan bayangan.
Saya ingat akan musibah gempa pada suatu pagi di Alor di tahun 2004. Banyak bangunan yang roboh, dan kami harus berkemah di luar, mengantisipasi datangnya gempa susulan.
Baru kali itu saya merasakan gempa dengan skala besar. Usut punya usut, di hari yang bersamaan, terjadi musibah tsunami di tiga tempat sekaligus: Thailand, India, dan Aceh.Â
Orang menyebutnya Boxing Day 2004 karena korban jiwa mencapai lebih dari 225.000. Kita jadinya teringat akan gempa di Lisbon 1755 pada Perayaan Semua Orang Kudus.
Dari berita yang diliput, melihat korban-korban yang masih teregeletak di jalanan, kita bisa saja mencerca Tuhan dan merenungkan bagaimana pencipta yang penuh kasih membuat sesuatu yang merusak seperti lempeng tektonik.
Dulu ketika SMA, kebetulan saya menyukai mata pelajaran Geografi. Bagi pecinta Geografi pasti tahu bahwa tanpa lempeng tektonik, tanah tidak mungkin dipaksa berada di atas lautan.Â
Permukaan bumi mungkin, adalah rawa hijau, mustahil bagi kehidupan manusia. Juga dalam lingkup agrikultur, pergerakan kerak bumi, secara historis, penting bagi usaha manusia di bidang pertanian, karena mineral di bawah permukaan memperkaya tanah dan membuat budidaya tanaman lebih mudah.Â
Apa yang ingin saya katakan, bahwa persoalan tektonik yang mengakibatkan tsunami dan gempa, tidak ada hubungannya dengan hukuman ilahi atau karma.Â
Saya lebih melihatnya sebagai harga yang harus dibayar untuk hidup di dunia alami yang kompleks, yang menampilkan keindahan sekaligus rumput berduri.Â
Perpaduan positif dan negatif yang tak terhindarkan ini tidak hanya tercermin dalam studi tentang alam, tetapi juga dalam beberapa warisan budaya agama tertua umat manusia. Ambil contoh Dewa Siwa dalam agama Hindu. Dia adalah dewa pencipta dan penghancur, dan kedua elemen energi abadi ini terkandung dalam tarian klasik, tandava. Namun karena saya suka puisi, saya ingin mengutip bait puisi indah dari teolog Muslim abad XII, Al- Ghazali.
Bercerminlah! Tatanan hidup
Adalah tatanan unik yang halus dan luar biasa
Hanya kematian yang membuat hidup
Dan hanya ketakutan akan kuburan yang menghiasi itu
Bukankah karena penderitaan dan hidup yang menyakitkan
Orang tidak akan mengerti arti kebahagiaan
Siapa yang cemberut dalam kegelapan yang tidak menakutkan
Tidak merasakan kebahagiaan di pagi yang baru...
Kalian pasti bertanya, tidak bisakah pencipta yang mahakasih dan mahakuasa mengubah pengaturan untuk menjaga semua matahari terbenam dan meninggalkan kekeringan dan wabah penyakit? Saya tidak ingin menjawabnya. Saya ingin kalian menonton film dokumenter tsunami Channel 4 sampai pada klimaksnya.
Sekitar enam belas mil tenggara dari pusat kota Roma terletak istana musim panas kepausan di Puri Gandolfo, rumah bagi Observatorium Vatikan yang dijalankan oleh komunitas kecil Yesuit. Mereka sempat mengadakan seminar seminggu tentang 'Tuhan dan Penderitaan'. Seminar tersebut dihadiri oleh beberapa ilmuwan dan filsuf Kristen paling berbakat di planet bumi. Di sisi lain, banyak masyarakat yang menghabiskan hari-hari di teras yang menghadap ke Danau Albano dan melontarkan pertanyaan demi pertanyaan kepada mereka yang berkumpul di tempat yang indah itu, "Mengapa Tuhan tidak melakukannya dengan lebih baik?"
Sebetulnya, jawaban atas dasar suka sama keluarnya. Bukan membatasi Tuhan dan mengurangi kemahakuasaannya. Tapi mengapa Tuhan tidak membuat dua sama dengan lima? Mungkinkah sifat intrinsik dunia material hanyalah pasang surut harga yang harus dibayar untuk memiliki sesuatu? Â Apa yang akan terjadi jika kita menemukan planet lain di mana hukum alam dan penderitaan dilenyapkan?
Ada konsensus yang cukup kuat bahwa hukum sains akan berlaku di seluruh alam semesta dan, bagaimanapun, dengan tidak adanya kemampuan memilih entitas yang bebas dari penderitaan di tata surya dan sekitarnya, pertanyaan kita hanyalah hipotesis. Apakah Tuhan dapat menciptakan dunia material tanpa penderitaan dan kematian?
Bagi saya, pertanyaan tersebut adalah dilema yang sama, yang dihadapi pasangan muda mana pun saat merenungkan bagaimana membawa kehidupan baru ke dunia. Mereka tahu bahwa keturunan mereka akan mengalami pasang surut, dan mereka akan, seperti kita semua, pada akhirnya mati. Tetapi sangat jarang ada orang yang menyarankan agar mereka berhenti menjadi orang tua. Tentu, Tuhan itu kekal, dan penuh kasih dan mahakuasa. Tetapi mengapa, kemudian Tuhan menciptakan?
Saya ingin membayangkan Tuhan, yang berdiri dan menangis dan entah bagaimana pada menit terakhir, Ia merasa lebih baik memiliki kita daripada memiliki keilahian dalam kekosongan kekal. Anda dan saya mungkin tidak akan menekan tombol penciptaan. Tapi Tuhan menekan, mengisyaratkan misteri yang tidak kita mengerti, sebuah resolusi yang hanya bisa kita harapkan--- sebuah keinginan dan bukan pengetahuan.
Sama seperti akhir Kitab Ayub, ketika sosok yang tersiksa meminta Tuhan memahami semua pencobaan dan kemalangannya. Allah menjawab, Â "Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!" (38: 4-5). Santo Paulus melanjutkan, "Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?" (Rm. 9: 20). Sampai pada titik ini, rasanya, diskusi abstrak tentang teodise adalah hal terakhir dalam pikiran keluarga dan teman yang berduka selama pandemi. Welsh DZ Phillips mengatakan, 'Mudah bagi kita, kaum intelektual menambah kejahatan di dunia melalui cara-cara kita membahasnya.'
Ada di antara orang-orang percaya yang kalau dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan teodise hanya mengangkat bahu dan diam dengan hormat. Saya menghormati mereka. Tetapi saya juga akan mengemukakan tanggapan yang berbeda, karena inilah rintangan terbesar untuk lompatan persetujuan banyak agnostik dan ateis. Manusia adalah makhluk berakal. Aquinas menegaskan, umat manusia dapat beriman melalui hukum alam, melalui penyelidikan intelektual serta melalui wahyu alkitabiah.
Akhirnya, saya ingin bercerita, kadang kita kurang membayangkan, bahwa setiap hari ada pasien yang berjuang untuk bernafas. Mereka butuh kadar oksigen, ventilator dan sejenisnya. Mereka butuh Ruach Elohim, napas Allah, yang melayang di atas air pada saat fajar penciptaan. Dalam tradisi Buddha paling timur, anapatasati, sistem meditasi pernapasan, adalah elemen kunci jalan menuju pencerahan. Dan akhirnya, ada gambar Tuhan yang tersalib, yang menghembuskan nafas terakhir-Nya dan menyerahkan roh-Nya. Betapa tepat, di masa-masa cemas Covid-19 ini, kita menjamin iman kepada Tuhan yang tidak meninggalkan kita dalam penderitaan, tetapi pada Tuhan yang mengirim Putra-Nya untuk mati karena kehilangan napas di kayu salib.
Ini bukanlah bab terakhir dari dongeng. Karena kita masih berjalan melalui kegelapan makam dan bersiap untuk hal yang tak terduga: kebangkitan baru. Jika kita melihat melalui kaca yang gelap, saya percaya, Tuhan akan membantu ketidakpercayaan kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI