Tulisan-tulisan cerpen bernuansa pergulatan psikologis ini kemudian membuat pembaca tidak lagi menaruh perhatian pada korban yang terbunuh, melainkan pergulatan psikologis mereka-mereka yang menjunjung tinggi gagasan anti-komunis.[9]Pembunuhan yang akhirnya dipahami sebagai bagian integral dari rekonstruksi sejarah bangsa, akhirnya menampilkan semangat patriotisme dan kebanggaan atas jasa-jasa anak bangsa yng membuat orang jatuh pada romantisme mitologi dan emotivisme. Konsekuensinya objektivitas atas sejarah direduksi sedemikian rupa seturut kepentingan kolektif. Aswendo kemudian mengakhiri Novelnya dengan kalimat berikut,
"Angin neraka bertiup dari Lubang Buaya. Angin iblis yang sadis. Angin biadab yang paling laknat. Angin yang menandai puncak-puncak kejahatan yang terjadi di tanah air tercinta, yang dilakukan oleh putra-putra Indonesia juga, dan ditujukan kepada putra-putra Indonesia terbaik yang berjasa" (150).
- Kesimpulan
Perlu disadari bahwa karya-karya sastra yang diterbitkan dalam pemerintahan Orde Baru semuanya dikuasai oleh aparat militer. Setiap karya yang hendak dipublikasikan harus senantiasa berhaluan dengan ideologi rekaan aparat militer yang mendandani Orde Baru, zaman kala kita memasukithe dark age of Indonesia.
Maka harus diakui  bahwa, pembantaian PKI adalah konsekuensi logis dari upaya menaikan Suharto ke tampuk pemerintahan. Dan pada periode inilah kita menciptakan sastra baru, holocaust versi Indonesia. Zaman berganti, dan ketaksadaran tanpa rekonsiliasi akhirnya membuat penebusan hutang nyawa sastra Indonesia tetap ditagih oleh teriakan para korban dari rahim bumi.
Di satu pihak periode yang menakutkan itu telah lewat, namun tetap tersirat bahwa tidak sepenuhnya lenyap dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bukan karena masa depan itu tidak dapat didugai, melainkan kenangan ini tetap membekas. Dengan kata lain, peristiwa itu telah berlalu, namun torehan traumatis tetap ada.
Dia adalah bekas yang membekukan peristiwa dan menghadirkan kembali serta melebih-lebihkan sisi gelapnya. Karena itu juga trauma bagaikan seorang diktator yang mendikte kekinian korbannya. Namun jika tetap bertumpu pada peristiwa, maka pengalaman traumatik akhirnya menjadi anti peristiwa.
Pertanyaannya, apakah sastra kita di zaman ini dihantui oleh beban moral atas tragedi kemanusiaan 1965-1966? Dan apakah ada potensi yang mengorbankan pihak lain dari upaya pelunasan hutang moral sastra Indonesia, sebagaimana bangsa Barat melunasi beban moralnya dengan mengorbankan masyarakat Palestina? Kita berada di dalam ketegangan. "Untukmu sastrwan Indoneisa, Aku bertanya!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H