Kalau kita menginjak perbatasan Palestina-Israel akan tampak perbedaan; daerah Israel yang dihibahkan dari tanah Palestina oleh Inggris rupa-rupanya jauh lebih subur, tanah penuh "madu dan susu". Sedangkan Palestina kering, tak ada lahan untuk digarap. Jumlah penduduk meningkat dengan taraf kesejahteraan yang rendah membuat mereka "mati kendati masih bernafas".
Cikal bakal terorisme sebetulnya datang dari konteks ini, "karena hidup sama dengan mati" maka lebih baik membasmi Israel dan negara-negara Barat agar kemerdekaan sungguh-sungguh lahir dan batin. Demikian para teroris yang kerap dicap irasional, sesungguhnya sangat rasional, mereka dipuja sebagai pahlawan karena dengan menjadi martir, mereka memberi harapan kesejahteraan sejati kepada kemelaratan rakyat mereka yang nyatanya dikondisikan pula secara rasional atas hutang moral bangsa Barat kepada ras Yahudi.
- Kontinuitas Holocaust dan Politisi Sentimentalisme Moral
Wacana terorisme sebagai pengkhianatan dan pemerkosaan terhadap martabat manusia (karena mereka tidak hanya menimbulkan korban, melainkan mempersiapkan yang lain juga menjadi korban) dimulai sejaktragedi aksi teror dua gedung WTC New York, 11 September 2001. Sebuah ironi terjadi kala banyak pawai menyoraki pihak-pihak yang datang membantu dengan jargon "we are proud of you", "save us", atau "God Bless America" kemudian melupakan pengalaman traumatik dan memperkuat nasionalisme Amerika.
Serentak fenomena ini mewarnai etalase panggung politik. Kesan yang muncul kemudian adalah peristiwa tragis yang memakan korban jiwa telah menjadi benefit bagi Amerika dalam melegitimasikan usahanya meningkatkan penyebarluasan dominasi kekuasaan dan ideologinya di seluruh dunia.
Ada sebuah kejanggalan. Pengalaman penderitaan para korban kemudian dipolitisi. Bila kita kembali merenungkan pengalaman holocaust yang datang dari mulut mereka yang mengalami, tragedi kemanusiaan itu membuat mereka membuka pengalaman saja ibarat menemukan duri dalam daging. Sebagaimana yang ditulis oleh Moltman,
"I experienced a very different 'dark night' in my soul,
for the pictures of the Bergen-Belsen concentration camp and
horror over the crimes in Auschwitz, had weighed on me and
many other people of my generation ever since 1945. Much time
passed before we could emerge from the silence that stops the
mouths of people over whom the cloud of the victims hangs
heavy.[7]
Bila diperhatikan, pengalaman holocaust yang dialami oleh masyarakat Yahudi di Jerman rupa-rupanya menoreh traumatik yang membuat bungkam. Dan hal itu berbeda di Amerika, bagaimana sentimental moral kemudian dipolitisasi dan membuat penderitaan para korban seakan tersamar-samar.
Persis pada pengalaman tersebut kita diundang merenungkan kembali masa yang sudah-sudah, pembantaian para PKI dalam tragedi G 30S 1965-1966. Dan bagaimana rekayasa "imajinasi liar para sastrawan" dijadikan paradigma sampai saat ini.
- Rekayasa Cerita G30S PKI
 Komunis nama yang menakutkan untuk generasi Indonesia. Kebrutalan para PKI menjadi sejarah yang ditutur turun temurun, tanpa membuka peluang melakukan kritik sejarah. Di kala kebenaran makin kentara, rupa-rupanya akar paradigma masih mengakar dan menciptakan ideologiyang kendati tak bisa diuniversalkan namun setidaknya memengaruhi empat penjuru Indonesia. PKI adalah iblis.
Tanpa kita sadari  pembunuhan masal yang terjadi sepanjang September 1965-1966 adalah pembunuhan atas manusia bukan pembunuhan atas iblis.  Apakah karena kemanusiaan mereka dilabelkan komunis sehingga pembunuhan dianggap wajar?
Tragedi yang kita anggap wajar, sejatinya adalah percaturan politik yang menjadikan nilai-nilai agama dan terutama media sastra belati, senjata pemungkas rasa kemanusiaan sebagai manusia.Kita mengingat film dan novelPengkhianatan G30S/PKI, yang sejatinya adalah produk kebudayaan terpenting yang digunakan oleh Orde Baru untuk memberi kesan pembantaian terhadap manusia komunis adalah hal yang normal. Inilah holocaustversi Indonesia.