Pertama-tama, kita menemukan pembenaran dalam dokumen resmi Jesuit tentang inspirasi Ignasian, khususnya Konstitusi Serikat Yesus dan Latihan Rohani Ignasian, yang menekankan akomodasi.
Kedua, kita dapat membedakan kebijakan-kebijakan ini dengan kebijakan yang diadopsi oleh para Fransiskan kontemporer dan Dominikan, yang tampak kurang akomodatif, kurang berorientasi pada elit, kurang terlibat dengan ilmu pengetahuan, dan, kurang toleran terhadap tradisi ritual lokal.
Akhirnya, dalam publikasi tentang Jesuit di Cina di zaman modern, baik oleh Jesuit maupun non-Jesuit, menerima straregi tersebut sebaai 'tipikal Ricci' atau 'tipikal Jesuit'.
Pertanyaannya adalah "Apakah sungguh merupakan strategi Jesuit?" Tiga puluh tahun pertama misi Jesuit di Jepang menunjukkan gambaran yang sangat berbeda, karena sebelum kedatangan Valignano kebijakan akomodasi sangat dibatasi.
Dengan demikian strategi yang sebenarnya ditentukan oleh inspirasi individu seperti Valignano. Dengan kata lain, keempat karakteristik strategi Jesuit di Cina hanya menyajikan satu sisi cerita. Keberatan metodologis utama adalah bahwa identitas tidak hanya dibentuk melalui upaya mengisolasi diri, tetapi oleh interaksi terus-menerus dengan Yang Lain.
Strategi misionaris Jesuit di Cina bukan hanya hasil kebijakan yang disadari dan didefinisikan oleh Valignano dan penjabaran yang proaktif dan kreatif dari Matteo Ricci, tetapi juga merupakan hasil reaksi mereka terhadap "apa itu Cina" dan "siapa orang Cina itu".
Dibentuk oleh Yang Lain
1. Akomodasi untuk budaya Cina.Â
Contoh paling jelas dari campur tangan Yang Lain dalam bidang akomodasi adalah perubahan kebijakan adaptasi Buddhisme menjadi kebijakan adaptasi Konfusianisme. Yang Lain sudah hadir dalam keputusan awal untuk mengadopsi pakaian Buddha, karena Gubernur Guangdong bersikeras bahwa ini adalah cara berpakaian misionaris. Akomodasi gaya hidup Buddhis bukan tanpa keuntungan.
Akomodasi tersebut memungkinkan para Yesuit melakukan kontak dengan mayoritas penduduk Cina. Tapi ada kerugiannya.
Dari perspektif Konfusianisme, agama Buddha dan Kristen mirip satu sama lain. Keduanya adalah agama institusional dengan sistem teologi, ritual, dan pengorganisasiannya sendiri, sedankan Konfusianisme menyerupai agama yang tersebar. Teologi, ritual, dan organisasinya secara intrinsik terkait dengan konsep dan struktur institusi sekuler dalam tatanan sosial sekuler.