Sahabatku! Jika kamu berkenan. Aku ingin bercerita lebih tentang ini. Tentang semesta dalam pemahaman masyarakat Tionghoa. Gagasan semesta mereka dipengaruhi pola peradaban masyarakat yang agrikultur.Â
Data-data arkeologi menunjukkan, sejak zaman Neolitik akhir (5000SM-3000SM), yaitu pada masa budaya-budaya Yangshao dan Long Sahn, nenek moyang orang Tionghoa sudah hidup dari bertani dan mengembangkan diri dalam budaya tani.Â
Unsur-unsur budaya tani menjadi benih-benih peradaban Tionghoa yang semakin kaya tersusun pada masa tiga dinasti awal: Xia, Shang dan Zhou. Budaya tani menjadi inspirasi mengelola hidup sosial, ekonomi, dan politik. Maksudku, pengalaman dasar yang menempa masyarakat Tionghoa dalam interaksinya dengan semesta adalah gerak perubahan alam.
Apakah kamu belum juga mempercayaiku? Terseralah. Kamu bisa membaca sendiri dalam buku Yi Jing (Kanon Perubahan) yang digambar dalam simbol-simbol "gua", yaitu susunan enam simbol garis "-- (Yin)" dan"__ (Yang)". Dalam Yi Jing itulah terdapat kalimat yang mengungkap gagasan nenek moyang bangsa Tionghoa akan alam:
"fnfu qi dao (geraknya menjauh dan kembali menurut jalannya), qi ri lai fu (hari  ketujuh awal gerak kembali), tian xing ye (itulah cara langit bergerak) li yu you wng (semua arah gerak membawa manfaat). Gang zhng ye (kekuatan tumbuh dan berkembang). Fu qi jian tiandi zhi xin hu (dalam gerak kembali bukankah kita lihat kembali hati jagad)".
Sahabatku yang selalu bercerita di saat peronda telah lelap di Pos Kamblik. Apakah kamu menertawaiku? Bersabarlah sebentar. Akan kukatakan kepadamu sesuatu yang tidak biasa. Bahwa gerak alam inilah yang menciptakan empat musim; han wang ze shu lai (musim dingin pergi, musim panas datang), "shu wang ze han lai (musim panas pergi, musim dingin datang). Leluhur orang Tionghoa memiliki hukum batin yang dipengaruhi oleh langit (tian).Â
Bagi mereka langit tidak bicara namun semua  bergerak teratur: tian heyanzai (bicaralah langit)? si shi xing yan (segala sesuatu sedang tercipta), tian heyanzai (bicaralah langit)", walaupun tanpa bahasa dan tanpa suara, langit sedang mengatur dan mencipta segala. Lee Dian Rainey dalam bukunya Confusius and Confucionism (2010), menyebut bahwa bahkan masyarakat Tionghoa pada masa itu mulai berbicara tentang surga, surga yang dekat dengan manusia:
"surga mendengar dan melihat, sebagaimana manusia mendengar dan melihat; surga menunjukkan tindakan dan larangan-larangannya, sebagaimana manusia menunjukkan tindakan dan menggenggam sumpahnya."
Sahabatku! Dengan kata lain, surga adalah semesta. Ini berawal dari pengalaman empiris mereka yang menunjukkan bahwa perubahan di dunia ini amat teratur dan memengaruhi pola pikir manusia. Karena menyadari bahwa leluhur adalah mereka yang pertama membaca gerak perubahan alam, maka mereka harus dihormati. Inilah cikal bakal praktek pemujaan terhadap leluhur yang meninggal dalam tradisi masyarakat Tionghoa.
Sama seperti di kampung halaman kita. Orang-orang tua sering membuat sesajian dan meyakini bahwa leluhur kita hanya berpindah "tempat" namun sesekali akan datang mengunjungi. Namun mengapa leluhur kita tidak pernah meninggalkan karisma untuk akrab dengan alam? Apakah kemurkaan alam juga adalah kemurkaan leluhur?
Sahabatku, demikianlah surat ini kutulis, dengan kecemasan yang sama, dan tentunya harapan yang sama--- Â untuk tepat memandang gerak perubahan alam persis dalam mata para leluhur di masa silam.Â