Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Semesta dan Leluhur

27 Mei 2020   00:45 Diperbarui: 27 Mei 2020   00:50 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: via vatikankatolik.com

Surat untuk Sahabat

Sahabatku!

Aku telah membaca suratmu "Rintihan Ibunda Bumi". Aku merenungi kecemasanmu sewaktu menatap perkebunan di pekarangan rumah. Kangkung tumbuh lambat, pohon buah enggan berbuah, rerumputan tumbuh tanpa waktu. 

Apa yang terjadi adalah kenyataan bahwa kita kehilangan ruang membacakan puisi-puisi para petani. Wajah Ibu Pertiwi berubah! Kini Rayuan Pulau Kelapa, Desaku yang Kucinta, Kolam Susu, dinyanyikan dalam pentasan paduan suara dalam bangunan megah. 

Ada sesekali aku melihat orangtua menangis syahdu dan lekas menyekanya. Mereka menangis bukan karena anak mereka bernyanyi, namun mengenang nostalgia. Bahwa pernah ada masa mereka mencuci kebaya dan sarung di kali sambil memerhatikan anak-anak asik mencari ikan-ikan kecil dan udang di balik batu. 

Pernah ada masa ketika musim hujan seorang bapa mengajak anaknya pergi ke sungai---  karena banjir membuat kepiting-kepiting kecil naik ke atas batu. Alangkah indahnya masa itu. 

Masa ketika kita berbaring di pangkuan nenek atau kakek, di malam hari, dalam terang pelita, dan mendengar mereka berpantun menggunakan alegori alam. Dan betapa indahnya saat mendengar mereka berpantun, dan kita belajar menumbuk pinang untuk mereka.............. Sahabatku, runtuhlah sudah balai kebudayaan sehari-hari!!!

Dalam kenangan inilah aku menulis surat balasan untukmu. Bahwa buyutku selalu bercerita tentang kebaktian pada orang tua dalam diri mereka-mereka yang matanya selalu membentuk satu garis datar kala tersenyum, orang Tionghoa. Konon dalam tradisi Tionghoa ketika ayam jantan dan burung gagak berkotek di pagi hari, seorang anak harus membasuh kedua tangannya, menyikat gigi dan menyisir rambutnya. 

Tidak hanya itu, seorang istri pun harus melayani keluarga menantu sebagaimana melayani keluarga sendiri--- dan itu terjadi saat suara pertama dari burung gagak. Setelah berpakaian rapih, seorang istri dan anaknya pergi melayani keluarga mertua. 

Sewaktu mereka tiba, mereka harus bertanya dengan pelan dan lembut: "apakah pakaian yang dikenakan oleh mertua hangat atau tidak, kendati orangtuanya tidak sakit. Dan ini pun berlaku bagi anak muda saat menyambut orangtuanya di rumah. 

Mungkin kamu berpikir bahwa aku mengarang kisah. Namun ini sungguh terjadi. Yang menarik, ritual keseharian ini bukanlah kebiasaan adat budi pekerti.  Bukan. Namun relasi mereka dengan semestalah yang membentuk etos kehidupan.

Sahabatku! Jika kamu berkenan. Aku ingin bercerita lebih tentang ini. Tentang semesta dalam pemahaman masyarakat Tionghoa. Gagasan semesta mereka dipengaruhi pola peradaban masyarakat yang agrikultur. 

Data-data arkeologi menunjukkan, sejak zaman Neolitik akhir (5000SM-3000SM), yaitu pada masa budaya-budaya Yangshao dan Long Sahn, nenek moyang orang Tionghoa sudah hidup dari bertani dan mengembangkan diri dalam budaya tani. 

Unsur-unsur budaya tani menjadi benih-benih peradaban Tionghoa yang semakin kaya tersusun pada masa tiga dinasti awal: Xia, Shang dan Zhou. Budaya tani menjadi inspirasi mengelola hidup sosial, ekonomi, dan politik. Maksudku, pengalaman dasar yang menempa masyarakat Tionghoa dalam interaksinya dengan semesta adalah gerak perubahan alam.

Apakah kamu belum juga mempercayaiku? Terseralah. Kamu bisa membaca sendiri dalam buku Yi Jing (Kanon Perubahan) yang digambar dalam simbol-simbol "gua", yaitu susunan enam simbol garis "-- (Yin)" dan"__ (Yang)". Dalam Yi Jing itulah terdapat kalimat yang mengungkap gagasan nenek moyang bangsa Tionghoa akan alam:

"fnfu qi dao (geraknya menjauh dan kembali menurut jalannya), qi ri lai fu (hari   ketujuh awal gerak kembali), tian xing ye (itulah cara langit bergerak) li yu you wng (semua arah gerak membawa manfaat). Gang zhng ye (kekuatan tumbuh dan berkembang). Fu qi jian tiandi zhi xin hu (dalam gerak kembali bukankah kita lihat kembali hati jagad)".

Sahabatku yang selalu bercerita di saat peronda telah lelap di Pos Kamblik. Apakah kamu menertawaiku? Bersabarlah sebentar. Akan kukatakan kepadamu sesuatu yang tidak biasa. Bahwa gerak alam inilah yang menciptakan empat musim; han wang ze shu lai (musim dingin pergi, musim panas datang), "shu wang ze han lai (musim panas pergi, musim dingin datang). Leluhur orang Tionghoa memiliki hukum batin yang dipengaruhi oleh langit (tian). 

Bagi mereka langit tidak bicara namun semua  bergerak teratur: tian heyanzai (bicaralah langit)? si shi xing yan (segala sesuatu sedang tercipta), tian heyanzai (bicaralah langit)", walaupun tanpa bahasa dan tanpa suara, langit sedang mengatur dan mencipta segala. Lee Dian Rainey dalam bukunya Confusius and Confucionism (2010), menyebut bahwa bahkan masyarakat Tionghoa pada masa itu mulai berbicara tentang surga, surga yang dekat dengan manusia:

"surga mendengar dan melihat, sebagaimana manusia mendengar dan melihat; surga menunjukkan tindakan dan larangan-larangannya, sebagaimana manusia menunjukkan tindakan dan menggenggam sumpahnya."

Sahabatku! Dengan kata lain, surga adalah semesta. Ini berawal dari pengalaman empiris mereka yang menunjukkan bahwa perubahan di dunia ini amat teratur dan memengaruhi pola pikir manusia. Karena menyadari bahwa leluhur adalah mereka yang pertama membaca gerak perubahan alam, maka mereka harus dihormati. Inilah cikal bakal praktek pemujaan terhadap leluhur yang meninggal dalam tradisi masyarakat Tionghoa.

Sama seperti di kampung halaman kita. Orang-orang tua sering membuat sesajian dan meyakini bahwa leluhur kita hanya berpindah "tempat" namun sesekali akan datang mengunjungi. Namun mengapa leluhur kita tidak pernah meninggalkan karisma untuk akrab dengan alam? Apakah kemurkaan alam juga adalah kemurkaan leluhur?

Sahabatku, demikianlah surat ini kutulis, dengan kecemasan yang sama, dan tentunya harapan yang sama---  untuk tepat memandang gerak perubahan alam persis dalam mata para leluhur di masa silam. 

Sayangnya seluruh tradisi ini adalah tabu di masa kita. Alam menjadi instrumen. Yang tersisa adalah kenyataan imaginatif bahwa kita terasing dari alam. Sebagaimana leluhur kita Adam dihalau oleh Elohim dari taman Eden dengan menempatkan di sebelah timurnya  beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, demi  menjaga jalan ke pohon kehidupan--- The Lost Paradise!

Salam hangat dariku

Petrus Pit Duka Karwayu

27 Mei 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun