Untukmu Maria!
Maria sahabatku. Mungkinkah kamu ingat pertama kali kita pentas dalam teater beberapa tahun lalu. Saat itu kamu berjalan di belakangku, dan aku sibuk menyanyikan “Telaga Sagawarna”, dongeng dua burung berbeda rupa yang saling memuji. Keprihatinan dalam lagu itu pernah diungkapkan Gerard Manley Hopkins dalam puisinya ‘Inversnaid’ 1881.
What would the world be, once bereft Of wet and of wildness? Let them be left, O let them be left, wildness and wet, Long live the weeds and the wilderness yet.
Maria sahabatku yang manis. Tahun ini di Roma, seharusnya merayakan lima tahun Laudato si, ensiklik kepausan untuk merawat rumah kita bersama. Namun sebelum tergesa, aku ingin menunjukkan padamu bahwa masyarakat miskin di Kepulauan Pasifik kehilangan pijakan ekonomi akibat tidak langsung dari Covid-19. Faktor-faktor utama yang mengarah pada 'keutamaan ekologis', seperti menghentikan jejak karbon pertukaran global, juga membuka ancaman lain terhadap cara mengatasi kebutuhan dasar manusia. Tetapi apa yang signifikan adalah penyakit ini bersifat zoonosis, berasal dari kelelawar. Hal ini lalu menjadi ironi, kala banyak diskusi etis publik Covid-19 adalah keadilan. Eksperimen politik menelan banyak biaya. Obat atau vaksin masih menjadi amplop tertutup, dan oleh karenanya social distancing atau isolasi menjadi satu-satunya cara. Bagiku, ini pengorbanan cinta yang mengosongkan diri, kenangan Jumat Agung, yang membawa kepedihan karena tidak bisa hadir dengan orang-orang yang kita cintai. Aku rasa kamu setuju jika aku katakan “meninggal sendirian bukanlah jenis kematian yang diinginkan”.
Maria gadisku! Baru-baru ini pun antropologi evolusioner menyoroti koevolusi manusia dengan spesies lain termasuk sosialitas 'hiper'. Paus Fransiskus dalam Laudato si berpendapat, bahwa teknologi adalah pengganti yang buruk untuk hubungan manusia. Dia melayani kepentingan umum, tetapi tidak menggantikan ikatan sosial. Melakukan semuanya melalui “FaceTime” atau alat virtual lainnya tidak memuaskan dan terasa aneh bagi kebanyakan orang. Dan memang, kamu dan aku sekarang berada di negeri yang aneh, di mana kita bahkan tidak bisa menangis dan berduka dengan orang lain.
Dari kegelisahan para politisi mendistorsi apa yang sebenarnya terjadi di ruang publik, kita pun lumpuh dalam kehidupan sehari-hari, seolah tidak yakin apa yang harus dilakukan. Tetapi Maria, kamu jangan panik. Yang menjadi lawan kecemasan adalah rasa terima kasih.
Di Madrid, setiap malam orang-orang berkumpul di balkon memberi tepuk tangan kepada petugas kesehatan yang shift malam. Di Inggris, ribuan orang bertepuk tangan setiap Kamis malam untuk NHS dan pekerja perawatan sosial.
Berbagai kelompok pendukung telah dibentuk di seluruh dunia untuk membantu mereka yang tinggal di rumah. Di sisi lain kita bisa berduka dalam solidaritas dengan mereka yang berduka, tetapi kecemasan tidak akan membantu mereka yang tertinggal.
Maria sahabatku! Mari kita renungkan bahwa bunga, burung, pohon dan makhluk hidup di sekitar bahkan di lingkungan perkotaan tidak lockdown. Kendati kamu berhenti mendengarkan kicau burung, pujian mereka tidak dapat disingkirkan.
Itulah mengapa sebelum Paus Fransiskus, si bola api Polandia St. Yohanes Paulus II sudah menyeruhkan pentingnya percakapan ekologi global. Paus Fransiskus dalam Laudato si, hanya mencoba kembali pada gagasan percakapan ekologis: 'Masalah sosial harus diatasi oleh jaringan komunitas dan bukan hanya dengan jumlah total kontribusi positif individual (n. 219).
Ini mengingatkan kita kembali di awal 2018. Kala itu, lebih dari 25.000 siswa di Prancis kecewa dengan sistem kapitalis super-konsumerisme dan berusaha mengubah diskusi ekologis dan sosial menjadi aksi yang signifikan dan konkret. Mereka menandatangani Manifeste étudiant pour un réveil écologique (Manifesto Pelajar untuk Kebangkitan Ekologis), yang mengarah pada pembentukan Le Campus de la Transition, sebuah proyek yang bertujuan menyatukan di satu tempat orang-orang dari berbagai kalangan (akademisi, mahasiswa, staf, ahli ekologi, dan bahkan anggota perusahaan multinasional) untuk menciptakan pedagogi baru.
Banyak orang di seluruh dunia juga memberi tanggapan. Mereka bertindak dalam berbagai cara yang bersama-sama membentuk gerakan ekologis yang berkembang. Banyaknya organisasi dan kelompok yang berfokus pada masalah ekologi dapat ditemukan sering kali melalui internet. Tingkat dan kompleksitas komunikasi elektronik kontemporer telah menciptakan apa yang oleh Walter J. Ong sebagai 'oralitas sekunder': bentuk modern dari penuturan, yang bertentangan dengan budaya tertulis. Budaya ini menawarkan kemungkinan membangun komunitas global yang sesungguhnya - tetapi komunitas yang berniat tidak hanya berkomunikasi, tetapi juga menyelamatkan planet Bumi.
Maka izinkanlah aku Maria, mengakhiri surat ini dengan nyanyian kala itu:
“wahai burung hitam rupa, engkau telah salah duga. Warnaku yang beraneka hanya bencana,.... ku dikejar manusia”
Kusudahi surat ini di sini. Ingat! jangan membuat buku dongeng binatang kesukaanmu lagi. Salah-salah: kancil, buaya, harimau, dan kera dapat datang kepadamu berdemonstrasi, “You Speak about Us but you destroy our Home”
Warm Regard
Petrus Pit Duka Karwayu
15 Mei 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H