Takkan pernah aku lupakan kesunyian malam itu, yang merampas dariku untuk selama-lamanya, seluruh gelora hidupku. Takkan pernah kulupakan saat-saat itu, yang membunuh Allahku dan jiwaku dan menghancurkan semua cita-citaku. Takkan pernah kulupakan semua hal ini, biarpun hidupku akan serasa jadi terkutuk selama-lamanya (Malam, 51).
Karya Elie Wiesel (1928-2016), "Malam", sebuah karya yang muncul kala bahasa dan pikiran manusia dilukai penderitaan. Yang ada hanyalah takdir seorang manusia Yahudi yang lepas dari cengkeraman maut dan meratapi jutaan anak-anak yang dibuang ke perapian dan perempuan-perempuan yang mati ditembak tanpa mengenakan pakaian.Â
Bangsa Yahudi yang pengalaman akan Allah sejarah menamai diri sebagai bangsa pilihan, di Jerman mereka bukanlah manusia seutuhnya (geginrasse).Â
Tidak heran usai Auschwitz baik Yahudi maupun non-Yahudi tidak bisa lagi mempercayai Allah sejarah Kitab Suci, "setelah Auschwitz apalagi yang bisa dikatakan seorang Yahudi tentang Allah?" Â Bahkan Adorno menuduh semua yang menulis tentang Auschwitz, yanag berpuisi atau berdoa kepada mereka sebagai barbarisme.
Bahasa doa
Menentang gagasan radikal Adorno, Metz mengatakan, "kita dapat berdoa kepada Auschwitz, karena juga di Auschwitz korban berdoa,.... (dan) kami tidak pernah kembali ke belakang Auschwitz. Di luar Auschwitz kami tidak pernah datang sendirian, tetapi hanya dengan para korban Auschwitz" ((hal 122). Â
Menurutnya, Auschwitz dapat membawa orang pada bahasa doa alkitabiah yang hampir terkubur. Sebuah bahasa ratapan yang menyimpan keluhan, tuduhan, bahkan pemberontakan melawan Allah. Metz menyebutnya sebagai bahasa mistisisme penderitaan Allah (God-mysticism), "dalam bahasa doa seseorang bisa mengatakan apa saja kepada Allah, termasuk tidak mempercayai-Nya.Â
Asalkan katakanlah itu pada Allah" (Ekkehard Schuster: Hope against Hope, 43). Bahasa mistisisme penderitaan Allah diartikan olehnya sebagai bahasa teodise, dan bahasa tersebut ditujukan kepada Allah seperti Ayub mempertanyakan keadilan bagi para penderita yang tidak bersalah (hal 67).
Metz kemudian berupaya menjawab tuduhan orang Yahudi atas kematian tak bersalah mereka di negara berbasis kristen dengan jawaban yang sangat frontal, "kami dulu berbicara tentang penderitaan yang tidak bersalah sama sekali" (yang dimaksudkan Metz adalah Yesus orang Nazaret).Â
Maka kristologi sebagai soteriologi sebetulnya membungkam teodise, "mari kita akui pertama-tama, mengapa Kristus disalib?" Jika kita berbicara terlalu banyak dan terlalu cepat tentang peran keselamatan Kristus, dan bukan mistisisme Tuhan-Nya, bahkan Tuhan-Nya yang menderita, maka kita menjadi tidak peka terhadap penderitaan orang lain. Bukan pertanyaan Luther "bagaimana mendapatkan Allah yang ramah" adalah inti pemikiran teologi saat ini, tetapi mengapa gunung penderitaan ini?
Menurut Metz, semenjak Allah berinkarnasi dalam sejarah, Ia terlibat dalam penderitaan dunia. Dia mengkritik para teolog yang melihat penderitaan sebagai peristiwa dalam diri Allah untuk melambangkan keterlibatan Allah yang intim dengan dunia atau untuk mengalihkan tuduhan sikap apatis dari Yang Ilahi.Â