Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Johann Baptist Metz di Tengah Pandemi

9 Mei 2020   13:49 Diperbarui: 9 Mei 2020   13:54 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilsismografo.blogspot.com

Sebulan setelah Covid 19 menyerang Wuhan dengan korban yang tak terhitung, Gereja Katolik berduka atas kepergian teolog terkenal Johann Baptist Metz, 12 Desember 2019. Memang tidak ada hubungannya antara kematian teolog besar ini dan apa yang terjadi di Wuhan. Tetapi patut diketahui bahwa beberapa bulan setelah kepergian Metz, tiba-tiba dunia modern menjadi akrab dengan teman perjalanan tertua dalam sejarah manusia, yakni ketakutan eksistensial akan kematian yang tak terhindarkan dan tak dapat dielakkan. 

Bahkan bukan hanya ketakutan, melainkan protes iman yang meletakan Allah di tengah forum teodise. Justru di sinilah kita merindukan Metz, di saat pandemi menyentuh luka pada model teologi kita yang banyak kali begitu mudah dituliskan. Kalau Metz masih hidup, saya yakin dia akan membuat kembali teologi Sabtu Sunyi jilid II, kegalauan setelah Golgota, dengan harapan utopis Minggu Paskah.

Johann Baptist Metz lahir di Auerbach, di timur laut Bavaria, 05 Agustus 1928. Dalam minggu-minggu putus asa akhir Perang Dunia II di Jerman, Metz yang kala itu adalah seorang prajurit berusia 16 tahun dikirim oleh komandannya untuk kembali ke markas. Ketika dia kembali, dia menemukan anggota lain dari unitnya telah meninggal.

"Aku hanya bisa melihat wajah-wajah yang mati dan kosong, di mana sehari sebelumnya aku berbagi ketakutan dan tawa masa kecil. Saya tidak ingat apa-apa selain tangisan tanpa kata. Ini adalah bagaimana saya melihat diri saya sampai hari ini, dan di balik memori ini, semua impian masa kecil saya hancur .... Apa yang akan terjadi jika seseorang membawa hal semacam ini bukan kepada psikolog tetapi ke dalam gereja, dan jika seseorang tidak akan membiarkan dirinya dibicarakan dengan ingatan yang tidak terdamaikan bahkan oleh teologi, melainkan ingin memiliki iman dengan mereka, dan dengan mereka berbicara tentang Tuhan?" (Metz, A Passion for God:1998,2)

Metz mengatakan, "tanyakan pada diri Anda sendiri apakah teologi yang Anda pelajari itu sedemikian rupa sehingga tidak akan berubah sebelum dan sesudah Auschwitz. Jika demikian, waspadalah Anda!" Bersama Auschwitz, jika ada teologi yang terpisah dari masyarakat dan kondisi mereka, maka teologi tersebut sebaiknya berhenti untuk ada (John K. Downey, Love's Strategy:99,43). Apa yang sebetulnya terjadi di Auschwitz?

Auschwitz

Auschwitz itu tempat yang aneh. Sebuah penjara di tempat yang sepi, tersembunyi, terpencil, berlokasi di tengah padang rumput yang luas, dan dibatasi oleh pagar kawat listrik dan berduri. 

Kalau seseorang masuk ke dalam kompleks penjara, perlahan-lahan rasa sepi berubah menjadi rasa ngeri, saat menyaksikan sisa-sisa kekejaman dan penderitaan anak-anak manusia, sepatu dan pakaian yang kumal dan lusuh, gumpalan rambut wanita yang dipangkas untuk rambut mainan boneka anak-anak Jerman, kumpulan gigi yang dicabut begitu saja untuk menyiksa atau merampas gigi emas, tiang gantungan, ruang penyiksaan, ruang eksekusi mati, dan lain-lain. 

Bahkan seseorang tidak bisa merokok kalau berziarah ke sana, selain meminta kepada Tuhan rahmat air mata (A.R. Widiyanto:2015, 86). Kengerian di Auschwitz menjadikan tempat ini sebagai memoria passionis yang tidak akan pernah dilupakan dalam kehidupan seorang Yahudi. Elie Wiesel (1928-2016) mengekspresikan memoria ini dengan ungkapan: "Takkan Pernah Kulupakan",

Takkan pernah kulupakan malam itu, malam pertama dalam kamp yang telah menyebabkan seluruh hidupku menjelma menjadi suatu malam tak berkesudahan, tujuh kali terkutuk dan tujuh kali terkunci. Takkan pernah kulupakan asap itu. 

Takkan pernah kulupakan wajah-wajah mungil anak-anak itu, yang kulihat tubuh-tubuhnya menjelma bagaikan karangan bunga untuk orang mati; terdiri dari asap di bawah langit biru tak bersuara. Takkan pernah aku lupakan lidah api itu, yang membakar habis imanku untuk selama-lamanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun