Bagaimanapun itulah teologi, yang berusaha memahami Allah bahkan ketika penderitaan memaksa untuk menyangkali-Nya. Namun seperti apa yang dikatakan Metz, "dalam bahasa doa seseorang bisa mengatakan apa saja kepada Allah, termasuk tidak mempercayai-Nya. Asalkan katakanlah itu pada Allah. Karena ketika pertanyaan itu datang kepada Allah, selalu ada sesuatu yang masih terbuka".
Auschwitz kini bukan lagi nama sebuah tempat, melainkan sebuah termin teknis penderitaan abad XX. Maka benar bahwa memori akan Auschwitz tidak boleh berhenti. Ia harus selalu dikenang, tidak hanya dalam agama Yahudi atau Kristen, melainkan mencakup semua. Karena Auschwitz juga berarti guncangan yang paling dalam dan penolakan dari kepenuhan teologis apa pun.Â
Setelah Auschwitz teologi Kristen tidak lagi dapat menjadi penuh seperti sebelumnya. Teologi terkadang harus tetap diam. Ada kelemahan teologi yang mengetahui jawaban atas semua pertanyaan teodise. Lebih daripada itu, teologi setelah Auschwitz mengetahui tentang kesamaan harapan kita akan kerajaan Allah.Â
Baik orang Yahudi maupun Kristen memiliki "proyek Mesias" yang sama, seperti yang dikatakan Clemens Thoma, untuk bekerja menuju "keadilan, perdamaian, dan integritas ciptaan" di dunia kita yang menyedihkan. Semuanya itu dikerjakan hanya demi Dia yang mati di Golgota, dan yang mati di Auschwitz, Golgota di zaman Modern. Inilah perjuangan untuk keluar dari bayang-bayang kegelapan yang dipenuhi kekerasan dan perang yang besar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI