Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sahabat Abstrak (Episode 4): Diary 24 Maret 2018

2 Januari 2020   21:14 Diperbarui: 2 Januari 2020   21:20 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalian Adalah Sahabat..."

Jika engkau bahagia, percayalah di belahan bumi yang lain, ada orang yang jauh lebih bahagia darimu.... Sampai saat ini hatiku belum tenang. Perasaan menyiksaku. Rasio menertawakanku atas prinsip kepercayaan yang justru menghancurkan yang lain.

Beberapa hari yang lalu---ku harap bukanlah yang terakhir---Hendrik memintaku untuk berbicara seusai kelas. Tidak sebiasanya ia memintaku dengan rawut cemas seperti itu. Aku mulai gelisah. Tak sebiasanya ia memintaku untuk berbicara secara pribadi. Mungkin persoalan seputar Sekretariat Organ Mahasiswa. Diakan sekretaris dalam badan kepengurusan.

 "Yah mungkin persoalan SENAT," yakinku mewaspadai.

Seperti biasa,aku tetap menyibukan diri dengan membaca buku sambil menaruh perhatian penuh pada dosen. Mencoba mengusir kegundahan. Rupanya kami bukan berbicara tentang Organisasi, namun persahabatan dan persodaraannya. Dan kalau tidak berlebihan, akupun telah mengambil sedikit dari mereka.

"Bagaimana mpendapatmu tentang Ose?" tanya dia.  

"Dia baik?" kataku singkat.

Sebetulnya aku enggan menjawab. Pertanyaannya adalah pertanyaan konyol. Lagian aku paling males berbicara tentang persoalan sederhana seperti itu yang masih kabur arahnya.

"Maksudku dalam hal perkuliahan?"

"Fuuuckkk what kind of question? Kita kan sekelas. Kau dan dia serumah, seasal. Mengapa harus bertanya pada saya?" timpalku.

"Saya dan dia telah bersahabat sejak kelas satu SMP," jawabnya datar putus asa.

"Lalu mengapa kau harus bertanya padaku? Jawabku dengan nada suara yang mulai turun.

Tanpa menjawab pertanyaanku dia mulai menguraikan soal keprihatinannya atas Ose dan diskusinya dengan Ian rekan serumah mereka. Mereka bertindak seolah-olah mereka makhluk yang sempurna. Mereka berbicara mengenai kemampuan akademis seolah-olah pntar adalah soal keaktifan kelas dan indeks prestasi yang tinggi.

"Ian pernah bercerita bahwa kau sering berdiskusi bahkan membantunya mengerjakan tugas-tugas perkuliahan bukan?"

"Iya. Kau tahu Ose. Kau mengenalnya jikalau Ia sulit mengungkapkan ide. Saya hanya membantu membahasakannya. Dan jika ada tugas yang sulit dimengerti, saya coba terangkan. Itu saja. karena saya tahu ia tak sama  sekali tak punya niat dalam dunia akademis."

Jawabanku sepertinya disimak betul. Aku mulai was-was. Takutnya jawabanku dijadikan tameng.

"Ian juga bercerita, suatu waktu saat kau sedang mengerjakan tugasnya, ia malah asik bermain handphone, benarkah?"

Aku terdiam. Aku kalah. Ya Tuhan aku telah salah menilai Ian. Selama ini aku pikir ia sahabat terbaik Ose. Padahal, di balik itu ia malah menjatuhkannya. Kalau sahabat kenapa tidak sportif berbicara face to face.bukan hanya dia, namun Hendrik pula. Jika mereka adalah sodara, mengapa harus menggunakanku untuk mendukung asumsi standar mereka? Licik! Sungguh Licik! Aku merasa telah mengkhianati Ose. Mereka khususnya Hendrik merancang skenario dengan sebaik mungkin dan memasukan saya sebagai aktor tambahan.

Baiklah... kuikuti maumu. Aku pun bercerita apa adanya termasuk pendapatku tentang Ose si Bodoh. Saya mengenalnya dan sejauh yang kutahu. Dan pengenalanku berbeda dengan mereka tentunya. Mungkin sekarang jawaban saya menjadi diskusi hebat di kalangan mereka, aku tak tahu.

Kelanjutan

Saya merasa lucu, bila harus mengisahkan efek diskusiku dengan Hendrik. Hari pertama setelah diskusi, saya masih duduk semeja dengan Ose, namun ia telah memasang tembok yang hebat di antara kami. Hari kedua ia menjauh. Langkahnya yang diam berpaling di depan 'kampus di luar kampus' adalah tindakan baru, berani sekaligus tegas. Sebuah tindakan yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. tindakan itu memberi isyarat, kalau kami tak bisa seperti hari kemarin, dekat.

Saya merasa bahagia ia telah kembali pada permulaan. Awal di mana semua berjalan tanpa rasa, makna dan pengetahuan. Tanpa ia sadari, iapun telah salah memahami ketulusanku. Orang yang tulus, yang menanggung beban yang tak seharusnya dipikul.

Si Bodoh..... kala seorang saudaramu melupakan banyak hal demi persahabatan, demi masa depan yang jauh. Kau meletakkannya seperti manusia boneka yang tak punya hati, rasa dan jiwa. trimakasih atas perspektif baru ini.

Terimakasih untuk pengalaman terulang. Sudah saatnya kita berkibar.... teruslah mimpi dicari kakinya agar menyentuh ozon kenyataan.    

Si pejalan bengong. Itulah aku yang selalu tulus di balik ketidaktulusan formatif yang kutawarkan. Berat menelan ludah. Mata kini hanya memandang setiap perjuangan dengan hati yang terus berharap pada masa depan yang was-was.

Aku tak mau lagi melihat kekurangan kalian sebagai lahan yang harus ditanami benih yang baik. aku maklumi ini sebagai cara kita untuk saling membenci, namun tidak kurang hati satu dengan yang lain.

bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun