Pada 14 Juli 2016, seorang teman menghadiakanku sebuah buku. Rupanya kumpulan puisi-puisi Kharil Gibran. Tokoh yang kukagumi memang. Setiap malam yang dingin usai aktivitas seharian mendapat sangkar, kubasahi setiap ujung kertas dengan liur. Membaca selembar demi selembar. Â Hingga suatu kali, ke lembaran yang sekian jauh dari sampul judul yang tebal, Gibran berkisah soal 'persahabatan'
Persahabatan
Dan seorang remaja berkata, bicaralah pada kami tentang persahabatan
Dan dia menjawab:
Sahabat adalah keperluan jiwa yang mesti dipenuhi. Dialah ladang hati, yang kautaburi dengan kasih, dan kau tuai dengan penuh rasa terimakasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu, karena kau menghampirinya saat hati lupa, dan mencarinya saat jiwa ingin kedamaian.
Bila dia berbicara, mengungkapkan pikirannya, kau tiada takut membisikan kata 'tidak' di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata "ya".
Dan bilamana dia diam, hatimu berhenti dari mendengar hatinya; karena tanpa ungkapan kata, dalam persahabatan, segala pikiran, hasrat, dan keinginan dilahirkan bersama dan berbagi dengan kegembiraan tiada terkirakan.
Di kala berpisah dengan sahabat, tiadalah kau berduka cita, karena yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin kau nampak lebih jelas dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki. Nampak lebih agung daripada tanah ngarai daratan.
Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan. Bukanlah cinta, tetapi sebuah jalan yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.
Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu. Jika ia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu.
Gerangan apa sahabat itu jika kau senantiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?
Carilah ia untuk bersama menghidupkan Sang Waktu!
Karena dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu. Dan dalam manisnya persahabatan, biarlah ada tawa ria dan berbagi kegembiraan....
Karena dalam titisan kecil embun pagi, hati manusia menemui fajar dan gairah segar kehidupan.
Yah... Puisi tentang persahabatan. Kunikmati membaca dan mengulagi. Kuingat setiap kata dalam dentumam jarum detik yang berotasi. Mencoba melafalkan, namun gagal. Hingga akupun menyadari, bahwa sahabat bukan untuk dihafal sekadar memenuhi otak yang lunak. Melainkan meninggalkannya diam bersama emosi yang sulit dijelaskan. Karena sahabat itu abstrak.
Perlahan kutup buku itu. Menyimpannya di bawah bantal. Lama ia berdiam kedinginan, dan kurangkul dalam mimpi angin bayu. Berlayar..... berlayar.... hingga akhirnya berhenti saat jago berkotek. Hari telah pagi.
"Seandainya ia tak jujur padaku, pasti aku akan membawanya dalam kehidupan nyata"....
Aku masih ingat betul kala di depan gerbang kampus. Ia ingin datang ke rumah.
"Nanti aku datang ke rumah kaka yah?
"Tapi bukan untuk bertemu dengankukan?" tanyaku.
"kalau kaka tidak di rumah. Aku tidak akan pergi!"
"kan ada Lia, adikku yang paling cuanntik. Lagiankan kalian teman kelas."
Aku sadar, Dia dan adikku tak begitu akrab. Apalagi orangtuaku. Pasti tak suka melihatnya. Semenjak bertemu dengannya, minatku, perhatianku, kerumahanku, semuanya beralih. Ia telah mencuri sebagian perhatian yang seharusnya hanya untuk Lia dan kedua orangtuaku.
Aku malu kalau-kalau orantuaku mengobjekannya di depanku. Belum lagi keculasan Lia. Adalah bijak bila hanya memandang dan berada di dekatnya. Melihatnya tertawa, menangis, sudah menjadi hiburan. Namun, sesekali aku tak pernah mau mengakuinya sebagai sosok yang kukenal. Yang kuakrabi.
"Kaka malu yah?" tanya dia sambil menatapku.
"Tidak. Belum saatnya."
Seperti biasa ia selalu terdiam dan mengalah. Kendati harapan masih tetap digantungkan setinggi langit.
"Apakah aku hanya teman abstrak kaka?"
"Jangan bilang seperti itu. Tolong! Aku tak sekejam itu." Kataku mengelak.
Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan kata-katanya, sampai-sampai tidak mengetahui kalau kami telah berbeda arah. Rumahnya memang lebih dekat dengan jarak kampus.
"Sahabat abstrak..... sahabat abstrak. Mungkin ada benarnya juga."
Kami berbeda level, etnis dan ras. Dan diam-diam kami saling mempelajari satu sama lain. Berharap memperkaya. Dia memang polos orangnya. Banyak bertanya. Terkadang aku merasa mengguruinya karena ia adik semester. Namun tanpa disadari, justru karena sering menjawab pertanyaannya, aku jadinya mengingat sebagian materi kuliah pada semester-semester sebelumnya.
Mungkin benar, bila hanya membaca buku dan orang merasa tahu, maka belum sempurna. Justru dengan berdiskusi, ia memastikan bahwa yang diingatnya dapat menembusi cakrawala orang lain juga. Mungkin cerita untuknya kusudahi dulu.
bersambung!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H