"kan ada Lia, adikku yang paling cuanntik. Lagiankan kalian teman kelas."
Aku sadar, Dia dan adikku tak begitu akrab. Apalagi orangtuaku. Pasti tak suka melihatnya. Semenjak bertemu dengannya, minatku, perhatianku, kerumahanku, semuanya beralih. Ia telah mencuri sebagian perhatian yang seharusnya hanya untuk Lia dan kedua orangtuaku.
Aku malu kalau-kalau orantuaku mengobjekannya di depanku. Belum lagi keculasan Lia. Adalah bijak bila hanya memandang dan berada di dekatnya. Melihatnya tertawa, menangis, sudah menjadi hiburan. Namun, sesekali aku tak pernah mau mengakuinya sebagai sosok yang kukenal. Yang kuakrabi.
"Kaka malu yah?" tanya dia sambil menatapku.
"Tidak. Belum saatnya."
Seperti biasa ia selalu terdiam dan mengalah. Kendati harapan masih tetap digantungkan setinggi langit.
"Apakah aku hanya teman abstrak kaka?"
"Jangan bilang seperti itu. Tolong! Aku tak sekejam itu." Kataku mengelak.
Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan kata-katanya, sampai-sampai tidak mengetahui kalau kami telah berbeda arah. Rumahnya memang lebih dekat dengan jarak kampus.
"Sahabat abstrak..... sahabat abstrak. Mungkin ada benarnya juga."
Kami berbeda level, etnis dan ras. Dan diam-diam kami saling mempelajari satu sama lain. Berharap memperkaya. Dia memang polos orangnya. Banyak bertanya. Terkadang aku merasa mengguruinya karena ia adik semester. Namun tanpa disadari, justru karena sering menjawab pertanyaannya, aku jadinya mengingat sebagian materi kuliah pada semester-semester sebelumnya.