Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Habislah Gelap Terbitlah Terang: Holocaust Menuju Auschwitz!

29 Desember 2019   18:28 Diperbarui: 29 Desember 2019   22:57 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Perennial suffering has as much right to expression as a tortured man has to scream;" kata Theodor W. Adorno dalam bukunya Negative Dialektik (1970) terjemahan E. B. Ashton. Kalimat asli Adorno sebetulnya, "Das perennierende Leiden hat soviel Recht auf Ausdruck wie der Gemarterte zu brllen,"--- "penderitaan yang berkepanjangan mempunyai hak untuk diungkapkan sebagaimana orang yang dirajam (sama dengan martir: Gemarterte) mempunyai hak untuk menjerit (brllen)." Yang menarik, Theodor Adorno menempatkan kalimat tersebut dalam bagian akhir bukunya "Meditationen zur Metaphysik" dengan alasan, "kemampuan metafisika dilumpuhkan karena peristiwa-peristiwa aktual telah menghancurkan dasar yang mana pemikiran metafisis spekulatif bisa direkonsiliasi dengan pengalaman". Menurutnya, metafisika spekulatif ini nantinya berujung pada totalitarianisme.

 Memasuki abad XX narasi manusia merayakan libertas mencuat pesat di negara-negara Eropa. Semua bermula dalam gerakan humanisme Renaisans abad XVI dengan perkembangan sains dan teknologi yang nantinya amat menentukan gerakan-gerakan Pencerahan abad XVIII di Eropa. Dari abad Pencerahan ini, Rene Descartes (1596-1650) dengan Cogito, Ergo Sum (I think, therefor I am) membuka babak baru yang dikenal Modern atau Moderna (Latin) yang sama dengan "saat ini" (Jerman: Jetzteit) ataupun "kebaharuan". Kendati dalam perkembangan waktu, Immanuel Kantlah (1704-1824) yang lebih desisif menyusun paradigma modern, namun sebagai pembuka jalan, Rene Descartes diperhitungkan berarti.

Rene Descartes memberi stimulus terhadap konsep episteme akan subjektivitas manusia, diantaranya: Pertama, subjektivitas reflektif, yaitu pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional. Kedua, subjektivitas berkaitan dengan kritik atau refleksi. Ketiga, kesadaran historis yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu berlangsung secara linear, progresif, unik, dan tak terulangi. Kosekuensinya, kebenaran wahyu lalu diuji di hadapan rasionalitas, legitimasi kekuasaan dipersoalkan melalui kritik, dan kesahihan tradisi dipertanyakan dengan harapan futuristik penuh optimis. Saatnya manusia merayakan subjektivitasnya dengan melibatkan diri pada suatu proyek universal untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Pertanyaannya, proyek universal yang seperti apa?

Tahun 1914 merupakan tahun penuh optimis dalam peradaban Barat. Peradaban Barat kelihatannya telah berkembang dengan pesat selama abad XIX, dan abad XX terlihat menjanjikan. Bahkan pecah perang pada Agustus 1914 tidak dapat menghancurkan visi optimis ini. Saat berakhirnya perang di tahun 1918,  kelihatannya Perang Dunia I menginisiasikan era baru yang destruktif, penuh pergolakan, dan perubahan yang revolusioner di Barat.

Kenyataan ini dipertegas pada perkembangan di tahun 1920-an sampai 1930-an yang dipenuhi ketakutan terhadap kekuatan demokrasi liberal yang memenangi Perang Dunia I. Revolusi di Rusia di bawah pimpinan Alexander Kerensky (1881-1970) tidak hanya menjatuhkan pemerintahan kaisar, namun sekaligus membawa kuasa Bolsheviks atau yang lebih dikenal sebagai Revolusi Oktober (1917-1971). Bolsheviks, pertama di bawah Vladimir llyich Lenin (1870-1924) dan lalu Joseph Vissarionovich Stalin (1878-1953) kemudian membawa Rusia menjadi Communist Party of the Soviet Union yang mana pada 1930-an menjadi bangsa totaliter yang mengejar keamanan dengan perlawanan yang mendasar terhadap kapitalisme Barat. 

Fasisme bangkit di Eropa, pertama di Italia di bawah Benito Amilcare Andrea Mussolini (1922-1943) dan berikutnya di Nazi Jerman di bawah Adolf Hitler (1933-1945). Inilah masa tragedi kemanusiaan terbesar menjadi dasar pijakan baru untuk memahami hidup. Abad XX yang menjanjikan kebaruan dalam gaya maupun model hidup serta cara berpikir ternyata juga merupakan abad kematian. Zachary Braiterman, filsuf Amerika yang banyak menulis tentang teologi holocaust Yahudi, menyebutkan,

"Indeed, catastrophic suffering belongs to the entire twentieth century---a century in which mass murder and mass death marked the convergence of modern organization, modern technology, and human propensities for violence and apathy. The Holocaust, two world wars, the Armenian genocide, the Stalinist gulag, Hiroshima and Nagasaki, Maoist purges, killing fields in Cambodia, Bosnia, and Rawanda, along with the specters of nuclear apocalypse, global environmental, disaster and the spread of AIDS all combine to haunt the Western imagination".

Dari keterangan yang disebutkan, terdapat beberapa termin kunci yang mengindikasikan tidak ada rekonsiliasi antara idealitas modernisme dan kenyataan-kenyataan (consequence) modernisme; the Holocaust, Two World Wars (1939-1945), the Armenian genocide (1915-1917), the Stalinist gulag (1929-1931), Hiroshima and Nagasaki, Maoist purges (1966-1967), killing fields in Cambodia (1975-1979), Bosnia (1995), and Rawanda (1994). Semuanya hanyalah imaginasi bangsa Barat. Satu pengalaman akbar yang mungkin dapat dijadikan representasi adalah holocaust. 

Pada umumnya, holocaust berhubungan dengan Nazi Jerman, Gulak di Uni Soviet dan Yahudi sebagai korban. Namun secara historis holocaust bukan hanya terbatas pada orang Yahudi sebagai korban. Terdapat kelompok manusia lainnya yang juga menjadi korban pemusnahan: 2. 000.000 lebih orang Polandia, 2-3. 000.000 juta lebih tahanan perang Uni Soviet, 200-500.000an orang gipsi, 200. 000 orang penyandang cacat, sekitar 15. 000 homoseks dan orang Yahudi sendiri menjadi sasaran terbanyak (6. 000.000 lebih manusia). Data ini tidak termasuk kelompok saksi-saksi Yehova dan Black Germany yang juga menjadi korban pembantaian. Maka holocaust tidak lain dari sebuah pembunuhan masal secara sistematik, atau yang disebut oleh pengacara berdarah Yahudi-Polandia, Rafael Lemkin (1900-1959) dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe (1944) sebagai genocide (Latin, gens: race/kind dan cide: killing) yang dikemudian hari terasimilasi ke dalam vokabulari kontemporer.

Karena korban terbanyak adalah orang-orang Yahudi, bagaimanapun pengalaman holocaust menjadi sangat membekas bagi mereka. Yahudi menyumbangkan lebih dari 6. 000.000 manusia. Itulah mengapa orang Yahudi bukan hanya mendefinisikan holocaust sebagai pembunuhan masal layaknya genosida, melainkan sebagai Shoah   atau malapetaka--- istilah Ibrani standar untuk holocaust sejak 1940-an di Yerusalem.

Holocaust berasal dari bahasa Yunani holkauston yang berarti pembakaran penuh. Termin holokauston sendiri diambil dari istilah Olah dan diberi makna dasar religius--- hewan-hewan disembelih dan dibakar di atas altar untuk menghormati Yahweh (Elohim). Memasuki abad XVII makna religius dalam termin holocaust bergeser menjadi sebutan kematian sejumlah orang.  

Pemahaman baru dari Holocaust ini kemudian menjadi bannal dan digunakan oleh politikus Inggris, Sir Winston Leonard Spencer-Churchill (1874-1965), sebelum Perang Dunia II, untuk menggambarkan genosida Armenia (1915-1917) di Perang Dunia I, yang mana bangsa Armenia yang adalah kelompok minoritas serta Assyria dibantai secara sistematis oleh pemerintahan Utsmania di tanah air mereka sendiri yang kini disebut Republik Turki sejak April 1915.

Ketika rezim Nazi berkuasa di Jerman pada Januari 1933, mereka segera mengadopsi langkah-langkah anti-Semit yang sistematis. Dekrit pertama yang dibuat oleh Partai Nazi adalah merumuskan definisi utama termin Yahudi. Antara 1933 dan 1939, upaya khusus dilakukan oleh Partai Nazi, lembaga pemerintah, bank, dan dunia bisnis untuk menyingkirkan orang Yahudi dari kehidupan ekonomi. Non-Arya dibebaskan dari jabatan publik, pengacara dan dokter Yahudi kehilangan hampir semua klien. Dalam dunia perekonomian dapat disimak bahwa, perusahaan-perusahaan Yahudi dilikuidasi dan properti mereka disita atau dibeli dengan harga yang jauh lebih rendah--- karyawan-karyawan perusahaan berdarah Yahudi kehilangan pekerjaan mereka.

Pengalaman Jews-Alienated ini memicu terbunuhnya seorang diplomat Jerman, Ernst Vom Rath di Paris oleh seorang pemuda Yahudi-Polandia Herschel Grynszpan pada malam 9 November 1938. Akibat dari pembunuhan ini, semua rumah ibadat Yahudi di Jerman dibakar, toko-toko Yahudi dihancurkan dan 20.000 orang ditangkap.

Terbunuhnya Ernst Vom Rath menjadi dalih dari momen Kristallnacht ("Crystal Night: The Night of the Broken Glass") atau yang juga disebut The November Pogrom mengingat peristiwanya yang terjadi pada 9-10 November 1938. Peristiwa ini sebetulnya menjadi sinyal bagi orang Yahudi di Jerman dan Austria untuk pergi selekas mungkin. Beberapa ratus ribu orang berhasil melarikan diri ke negara lain, tetapi begitu banyak, termasuk lansia dan kaum miskin tetap tinggal. 

Pada awal Perang Dunia II di bulan September 1939, tentara Nazi menduduki bagian barat Polandia, menambahkan hampir 2. 000.000 orang Yahudi ke wilayah kekuasaan Jerman. Pembatasan yang dikenakan pada orang Yahudi Polandia jauh lebih keras daripada yang ada di Jerman. Orang-orang Yahudi Polandia dipaksa untuk pindah ke ghetto dikelilingi oleh dinding dan kawat berduri. Mereka ditawan dengan enam atau tujuh orang di satu kamar.

Hingga September 1941, orang-orang Yahudi di Jerman dipaksa memakai lencana atau pita bertanda bintang kuning sebagai simbol bintang Daud. Pada bulan-bulan berikutnya, puluhan ribu orang dideportasi ke ghetto-ghetto di Polandia dan ke kota-kota Uni Soviet yang direbut.

 Sementara operasi sedang berlangsung, agenda mengerikan lain tengah disiapkan, yakni kamp kematian. Semua orang Yahudi dibawa ke beberapa tempat di Polandia di kamp-kamp konsentrasi. 

Beec yang memiliki kamar gas karbon monoksida membunuh sekitar 600.000 orang Yahudi. 250.000 orang meninggal di Sobibor, dan di Treblinka antara 700.000 dan 800.000. Di Majdanek, sekitar 50.000 orang dibunuh dengan gas atau ditembak, dan di Auschwitz jumlah kematian bahkan melebihi 1. 000.000.

Auschwitz dekat Krakow memang adalah kamp konsentrasi terbesar. Berbeda dengan yang lain, hidrogen sianida digunakan di tempat ini. Korban dari Auschwitz datang dari seluruh Eropa: Norwegia, Prancis, Belanda, Italia, Jerman, Cekoslowakia, Hongaria, Polandia, Yugoslavia, dan Yunani. Banyak tahanan, apakah mereka orang Yahudi atau bukan mereka tetap dipakai dalam pekerjaan industri; beberapa tahanan telah menjalani eksperimen medis, terutama sterilisasi (kaum disabilitas). Beberapa ratus ribu tahanan Auschwitz meninggal karena kelaparan, sakit, atau penembakan. Untuk membersihkan jejak pembunuhan, mereka lalu membangun kremasi besar di mana mayat bisa dibakar.

Akibat dari ngerinya genosida yang terjadi di Auschwitz, maka setelah tahun 1950-an holocaust kemudian diidentikan dengan Auschwitz sebagai pars prototo untuk menggambarkan kekejaman Nazi. Kenangan akan Auschwitz yang menimbulkan traumatik tiada tara ini direfleksikan sebagai the negation of the totality of being dan diamini bukan hanya sebagai dialektika atas pencerahan dan modernisme sebagaimana yang diusung Madzhab Frankfurt, melainkan pula pencarian akan makna hidup setelah Auschwitz bagi mereka yang menjadi korban atau setidaknya mengalami periode Auschwitz maupun setelahnya.

 Dan Stode Guru Besar Sejarah Modern di Royal Halloway-Universitas London, dalam bukunya Histories of the Holocaust menyatakan, orang Yahudi menyebut momen Auschwitz sebagai malapetaka lebih-lebih karena pemusnahan terhadap mereka di kamp kematian Auschwitz justru bertolakbelakang dengan janji Allah kepada mereka, yang mana mereka yang dilihat sebagai bangsa terpilih, di Jerman mereka tidak hanya semata-mata sebagai untermenschen (sub-human) dikontraskan dengan superman/overman, melainkan geginrasse: a counter-race yang dapat dikatakan pula sebagai bukan manusia sepenuhnya.

Setelah momen Auschwitz, semua orang hanya berdiam diri meratapi Abad Modern sebagai abad kematian. Uniknya, justru di dalam keputusasaan itu, suara-suara emansipasi termasuk kesadaran akan hak asasi manusia menjadi berarti. Momen Auschwitz tidak hanya dilihat sebagai konsekuensi logis dari masifnya kebaruan modernisme yang menciptakan arogansi ras Jerman, namun sekaligus sebagai dialektika atas sejarah yang membuka probabilitas harapan yang muncul pasca Auschwitz.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun