Yang mencengangkan semboyan God Bless America lalu dipahami sebagai yang satu-satunya oleh Donald Trump seperti Israel yang arogansi spiritualnya selalu dikenang oleh semua peradaban. Kini lima belas tahun telah berselang, dan data-data survei ini masih terus didata dengan jumlah yang terus menambah.
Di negara-negara Skandinavia, semisal Swedia, Denmark, Finlandia, Islandia maupun Norwegia ancaman baru muncul dengan kehadiran sekte-sekte yang menamakan diri kristiani dengan pola misi door to door (Jan-Ake Alvarsson,2011: 19). Yang membuat kita merasa janggal adalah di saat penemuan saintifik yang masif  dengan deep learning dan artificial intellegence serta perkembangan siber yang tak terbendung ternyata tidak mampu menutup dahaga spiritual manusia yang dibiarkan menganga dalam sejarah. Akhirnya, orang hanya bisa menertawakan Aguste Comte (1798-1857) bapak positivisme yang pada akhir hidupnya mendirikan sebuah Kapela untuk kekasihnya Clotilde de Vaux yang telah tiada.  Â
Merenungkan hal-hal semacam ini dalam Warung Indomie membuat saya tertawa sendiri. Dapat dibayangkan, pertengkaran hebat di ranah neurosains yang materialisme dan non-materialisme dalam khasanah psikologi modern, akhirnya berujung pada suatu kebungkaman, karena yang 'spiritual' itu tak bisa diperinci dalam diskursus ilmiah yang exact. Misterinya hampir sama dengan pertanyaan para sains sendiri tentang mengapa lempeng bumi itu selalu bergerak ke utara, atau dr. Ellie Arroway, seorang Radio Astronomer, yang menyadari bahwa bahasa sains terbatas berhadapan dengan semesta yang hanya dapat disimpulkan sebagai tak terhingga sebagaimana yang diputar dalam film the Contact tahun 1997.
Hampir saya yakin, bahwa inilah yang kemungkinan disebut sebagai mistisisme atau dalam kata bahasa Yunani Muo: menutupi. Bahkan kata ini punya kemiripan bunyi dengan termin misty yang berarti berkabut sebagaimana ditulis oleh W. T. Stace (1886-1967) dalam buku The Teaching of the Mystics (kendati dalam bukunya Stace lebih mempersoalkan mengenai kerancuan ketimbang pararelismenya) (W.T. Stace, 1960:10-11). Pengalaman empiris ini bukan karena keyakinan tersebut telah ada kemudian terbentuklah idea atau rumus-rumus, melainkan karena pengalaman. Bukankah yang mistik itu muncul dalam pengalaman? Tetapi pertanyaan yang menyertai adalah apakah yang mistik itu sungguh-sungguh dapat dikenali sedangkan dalam dirinya sendiri ia tertutup, berkabut?
Sudah sejak abad XX, Pejabat Publik India yang mengajar di Princeton,Walter Terence Stace sebagaimana yang telah disebut, mengkategorikan pengalaman mistis untuk membantu kita memahami. Ia menyatakan bahwa pengalaman mistikal itu dibagi menjadi dua, yakni ekstrovertif: alam, seni, musik atau objek-objek lain yang menjembatani kesadaran mistikal. Yang kedua adalah introvertif: Sang Tunggal yang ditemukan ''di lubuk diri yang terdalam, di lubuk kepribadian manusia sebagai homo theologicus''. Menurutnya mistisime introvertif jauh lebih penting secara historis karena melampaui keterbatasan panca indra (Beauregard: 225-227).
Kalau demikian adanya, rasa-rasanya kita bisa mengafirmasi pengalaman Saulus dari Tarsus di Damsyik, atau empat pengalaman mistikal yang terjadi berturut-turut dari 1946-1947 oleh seorang gadis Albania Agnes Bojaxhiu (1910-1997) yang kini dihargai dunia dengan sebutan Theresia dari Calcuta. Namun yang menarik adalah pengalaman mistikal mereka, memberikan kontribusi bagi keselamatan manusia. Inilah definisi lanjut dari mistisisme yang terlupakan dalam seluruh rangkaian narasi yang dibangun atas dasar kisah yang terpenggal-penggal.
Bibliografi
Mario Beauregard-Denyse O'Leary, The Spiritual Brain, diterjemahkan oleh Lily Sutrisna, (Jakarta:Obor,2009).
Jon-Ake Alvarsson, ''The Development of Pentacostalism in Scandinavian Countries'', dalam buku European Pentacostalism, William Kay-Anne Dyer (eds), (USA:Brill,2011).
J. Indra Kusuma, "Pangestu, Suatu Pandangan Hidup Jawa", Archipel, Volume. 4,1972.pp.32-45
Angie Heo, '' Intercessory Images of Church Territory in Egypt'', https://www.jstor.org/stable/41428502 Accessed: 06-03-2019 02:46 UTC