Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Angin Masih Berhembus

21 Desember 2019   01:50 Diperbarui: 21 Desember 2019   02:06 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari yang lalu Yogyakarta diguyur hujan sepanjang sore hingga malam. Saya yang saat itu baru saja pulang dari kampus terpaksa harus mampir di Warung Indomie yang kebetulan tidak jauh dari utara kampus. Tujuannya berteduh, namun hujan yang tak kunjung henti memaksaku berlama-lama. Sembari menunggu Mie Goreng Tante limaribuan yang baru dipesan, saya mengambil surat kabar Malioboro Blitz yang tergeletak di meja sebelah. Beritanya banyak yang menarik apalagi semuanya berkisah tentang Yogyakarta. Maklum Koran Daerah. Sampai-sampai pertandingan bola dalam layar Televisi di atas kepala terabaikan.

Dari setiap berita yang ada, mata saya cepat menangkap berita perilisan Film ''Jangan Sendirian'' karya Wijanarko, sutradara yang dikenal lewat filmnya Sultan Agung bersama Hanung Bramantyo.

Film yang berlatar belakang Yogyakarta tersebut diramalkan akan memikat banyak penggemar karena ber-genre horor. Yang menarik, film yang disutradarai Wijanarko ini menampilkan suatu scene yang sama sekali berbeda dari film-film yang biasa ditayangkan di Indonesia; yang banyak darinya menampilkan hantu-hantu nasional (semisal pocong, kuntilanak, gandaruwo, sundal bolong, dsb). Jangan Sendirian menampilkan figur-figur hantu yang modern-imajiner sebagaimana yang kerap muncul dalam layar kaca Hollywood, the Nun, Falax, Lucifer, The Vampire, Exorcism, dan sebagainya.

 Kemunculan film bergenre horor tersebut tidak membuat kita lupa begitu saja dengan sosok Suzzana Martha Frederika Van Osch (1942-2008) atau Suzzanna yang sampai sekarang tetap fenomenal dalam layar kaca Indonesia. Namanya yang melambung sejak tahun 1970-an karena keberaniannya membintangi legenda-legenda masyarakat pedesaan yang berbalut kekerasan, seks, komedi termasuk horor menjadikannya manusia berpredikat Ratu Horor Indonesia sampai sekarang. 

Pengkhususan Suzzanna sebagai ratu horor tidak hanya karena kehebatannya dalam ber-acting, melainkan juga hidup kesehariannya yang cenderung berbeda dari kehidupan orang-orang pada umumnya (melahap bunga melati, mandi di telaga dalam malam-malam tertentu, bahkan berpuasa dan bermatiraga setiap Jumat Kliwon). Hingga kematiannyapun Sang Ratu Horor ini masih menjadi amplop yang tak pernah dibuka, mistery. Tak heran jika banyak orang lalu merasa terkejut kala figur Suzzanna kemudian dihadirkan kembali dalam layar kaca Indonesia dalam film Suzzanna Bernapas dalam Kubur (18 Maret 2018) dengan diperagai oleh mantan kekasih Ariel Noah, Luna Maya.

Di beberapa media konvensional maupun On-Line nama Luna Maya terus digumuri jutaan pujian dan sindiran. ''Paling tidak dengan menjadi Suzzanna kariernya dapat melonjak setelah sekian lama expire dari pentas hiburan''. Bahkan logaritma Google telah merekam ribuan pencarian akan bangkitnya Suzzanna dalam searching-an. Bayangkan saja, setiap youtube yang dibuka spontan terdapat trailer Suzzanna yang berwajah Luna Maya.

Kemunculan film Jangan Sendirian dan pengaktualan kembali Figur Suzzanna dalam diri Luna Maya mengindikasikan bahwa di era yang serba canggih ini kelihatannya yang 'hantu' itu masih relevan. Orang masih takut akan kegelapan, pada mimpi buruk, pada takhayul dan semacamnya yang meyakinkan kita bahwa ternyata teori freudian pun masih belum rampung. Kisah seribu candi masih dikaitkan dengan si Cantik Roro Jonggrang oleh setiap wisatawan yang berkunjung ke Prambanan. Masyarakat Gunung Kidul (pun, 'mungkin' seantero Jawa) masih dibayang-bayangi oleh Ratu Pantai Selatan. Untung saja yang disebut di sini belum menjadi perwakilan seluruh kisah yang ada di Nusantara.

Ini mengingatkan saya akan 'agama' Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal) yang akhir-akhir ini menjadi diskusi hangat dalam kalangan kami di kelas. Sampai tadi sebelum mampir di Warung Indomie pun Dosen masih menjadikannya sebagai contoh dalam perkuliahan.

Sejauh yang saya tahu, aliran kebatinan yang didirikan oleh Mertowardojo sejak 20 Mei 1949 ini telah mendapat perhatian banyak kalangan karena kepengikutannya yang terus meningkat. Salah satu alasan berkembangnya aliran kebatinan ini, sebagaimana  yang ditulis oleh J. Indra Kusuma, adalah pengalaman akan Sang Guru Sedjati yang mengandalkan 'olah rasa', di mana rasa adalah pengertian dasar dalam mistik Jawa, yang sekaligus menyatakan perasaan, pengertian dan pengetahuan intuitif (Archipel, Vol.4,1972.pp.32-45). Kendati Tan Malaka lalu menuduh seluruh fenomena ini sebagai mentalitas budak, namun kelihatannya belum cukup menjelaskan mengapa Mbah Maridjan dengan bebasnya memilih mati di kaki    Gunung Merapi dan menolak untuk mengungsi saat erupsi terjadi pada 26 Oktober 2010. Ini tidak sama dengan penampakan Maria di daerah pinggiran Mesir, Zeiton- Kairo di kala Mesir dan Syria kalah dalam peperangan melawan Israel April 1968 yang silam, yang oleh tentaranya dimaknai sebagai penghiburan (https://www.jstor.org/stable/41428502).  

Di negara-negara maju tempat paradigma modern bersangkar sekarang, narasi tentang runtuhnya sekularisasi terus didiskusikan. Sekularisasi yang sempat melemahkan keberadaan agama menjadi tataran moral--- bahkan meniadakannya sama sekali--- kini harus takhluk dengan kemunculan agama-agama radikal yang berdiaspora. Negara semacam Prancis, Amerika, Jerman maupun Inggris kini telah memiliki fakta pluralisme agama, dan bahkan merasa terancam. Yang mengherankan negara yang menamai diri paling sekularpun kini berjalan dengan intuisi spiritual.

Di Amerika misalnya. Pada bulan April 1966, majalah Time menggegerkan para pembaca dengan artikel bangsa Amerika berpaling dari Tuhan dan ironinya dimuat pada Jumat Agung (8 April), dengan kepala berita "Is God dead?" bahkan artikel tersebut  mengimplikasikan bahwa jawaban para responden adalah ya. Sains membunuh agama. Namun 39 tahun berselang pada 2005, jajak pendapat Beliefnet menanyai 1.004 responden Amerika tentang keyakinan religius mereka---dan mendapati bahwa 79% menyebut diri mereka "spiritual", dan 64% "religius","(M. Beauregard, The Spiritual Brain, 2009:6).

 Yang mencengangkan semboyan God Bless America lalu dipahami sebagai yang satu-satunya oleh Donald Trump seperti Israel yang arogansi spiritualnya selalu dikenang oleh semua peradaban. Kini lima belas tahun telah berselang, dan data-data survei ini masih terus didata dengan jumlah yang terus menambah.

Di negara-negara Skandinavia, semisal Swedia, Denmark, Finlandia, Islandia maupun Norwegia ancaman baru muncul dengan kehadiran sekte-sekte yang menamakan diri kristiani dengan pola misi door to door (Jan-Ake Alvarsson,2011: 19). Yang membuat kita merasa janggal adalah di saat penemuan saintifik yang masif  dengan deep learning dan artificial intellegence serta perkembangan siber yang tak terbendung ternyata tidak mampu menutup dahaga spiritual manusia yang dibiarkan menganga dalam sejarah. Akhirnya, orang hanya bisa menertawakan Aguste Comte (1798-1857) bapak positivisme yang pada akhir hidupnya mendirikan sebuah Kapela untuk kekasihnya Clotilde de Vaux yang telah tiada.    

Merenungkan hal-hal semacam ini dalam Warung Indomie membuat saya tertawa sendiri. Dapat dibayangkan, pertengkaran hebat di ranah neurosains yang materialisme dan non-materialisme dalam khasanah psikologi modern, akhirnya berujung pada suatu kebungkaman, karena yang 'spiritual' itu tak bisa diperinci dalam diskursus ilmiah yang exact. Misterinya hampir sama dengan pertanyaan para sains sendiri tentang mengapa lempeng bumi itu selalu bergerak ke utara, atau dr. Ellie Arroway, seorang Radio Astronomer, yang menyadari bahwa bahasa sains terbatas berhadapan dengan semesta yang hanya dapat disimpulkan sebagai tak terhingga sebagaimana yang diputar dalam film the Contact tahun 1997.

Hampir saya yakin, bahwa inilah yang kemungkinan disebut sebagai mistisisme atau dalam kata bahasa Yunani Muo: menutupi. Bahkan kata ini punya kemiripan bunyi dengan termin misty yang berarti berkabut sebagaimana ditulis oleh W. T. Stace (1886-1967) dalam buku The Teaching of the Mystics (kendati dalam bukunya Stace lebih mempersoalkan mengenai kerancuan ketimbang pararelismenya) (W.T. Stace, 1960:10-11). Pengalaman empiris ini bukan karena keyakinan tersebut telah ada kemudian terbentuklah idea atau rumus-rumus, melainkan karena pengalaman. Bukankah yang mistik itu muncul dalam pengalaman? Tetapi pertanyaan yang menyertai adalah apakah yang mistik itu sungguh-sungguh dapat dikenali sedangkan dalam dirinya sendiri ia tertutup, berkabut?

Sudah sejak abad XX, Pejabat Publik India yang mengajar di Princeton,Walter Terence Stace sebagaimana yang telah disebut, mengkategorikan pengalaman mistis untuk membantu kita memahami. Ia menyatakan bahwa pengalaman mistikal itu dibagi menjadi dua, yakni ekstrovertif: alam, seni, musik atau objek-objek lain yang menjembatani kesadaran mistikal. Yang kedua adalah introvertif: Sang Tunggal yang ditemukan ''di lubuk diri yang terdalam, di lubuk kepribadian manusia sebagai homo theologicus''. Menurutnya mistisime introvertif jauh lebih penting secara historis karena melampaui keterbatasan panca indra (Beauregard: 225-227).

Kalau demikian adanya, rasa-rasanya kita bisa mengafirmasi pengalaman Saulus dari Tarsus di Damsyik, atau empat pengalaman mistikal yang terjadi berturut-turut dari 1946-1947 oleh seorang gadis Albania Agnes Bojaxhiu (1910-1997) yang kini dihargai dunia dengan sebutan Theresia dari Calcuta. Namun yang menarik adalah pengalaman mistikal mereka, memberikan kontribusi bagi keselamatan manusia. Inilah definisi lanjut dari mistisisme yang terlupakan dalam seluruh rangkaian narasi yang dibangun atas dasar kisah yang terpenggal-penggal.

Bibliografi

Mario Beauregard-Denyse O'Leary, The Spiritual Brain, diterjemahkan oleh Lily Sutrisna, (Jakarta:Obor,2009).

Jon-Ake Alvarsson, ''The Development of Pentacostalism in Scandinavian Countries'', dalam buku European Pentacostalism, William Kay-Anne Dyer (eds), (USA:Brill,2011).

J. Indra Kusuma, "Pangestu, Suatu Pandangan Hidup Jawa", Archipel, Volume. 4,1972.pp.32-45

Angie Heo, '' Intercessory Images of Church Territory in Egypt'', https://www.jstor.org/stable/41428502 Accessed: 06-03-2019 02:46 UTC

W. T. Stace, The Teaching of the Mystics, (New York: Macmillan, 1960).

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun