"April 1966, majalah Time memuat artikel bangsa Amerika berpaling dari Tuhan. Memilih dimuat pada Jumat Agung (8 April), kepala berita "Is God dead?" mengimplikasikan bahwa jawaban ya. Sains membunuh agama. 39 tahun berselang pada 2005, jajak pendapat Beliefnet menanyai 1.004 responden Amerika tentang keyakinan religius mereka---dan mendapati bahwa 79% menyebut diri mereka "spiritual", dan 64% "religius"." Â (M. Beauregard, The Spiritual Brain, 6)
Kutipan ini diambil dengan maksud menunjukkan suatu inkonsistensi dari pendirian manusia dalam kaitannya dengan kepercayaan akan Tuhan. Manusia selalu berproses dalam ruang dan waktu, namun mampu berpikir di atas 'mungkin'.Â
Syukurlah perkembangan di bidang sains memfasilitasi manusia dalam mengasah kemampuannya dalam tempaan zaman. Yang menarik, proses manusia yang menjaman sekaligus mengarah pada yang 'mungkin', selalu didampingi oleh suatu sistem masyarakat yang disebut sebagai agama (E. Durkheim, Elementary Forms of Religious Life, 254).
Tendensi yang muncul adalah, manusia lalu merasa dibatasi dalam segala hal. Sikap keterkungkungan ini membuat manusia kemudian berusaha mencari angin segar yang lebih menyejukkan dibanding dengan ajaran agama, sains. Sains yang sangat merujuk pada materialisme ternyata lebih credible karena disertai pembuktian. Lantas apakah eksistensi Tuhan dalam agama dapat diverivikasi?
Film The Contact yang dirilis pada tahun 1997, sebetulnya menunjukan ketegangan antara Sains dan Agama. Film tersebut mengisahkan tentang dr. Ellie Arroway, seorang Radio Astronomer, yang ateis. Ia bekerjasama dengan beberapa temannya dan menemukan adanya radio inteligen lain, yang mengirim rencana-rencana misterius dari sebuah mesin, yang awalnya disangka bintang Vega.Â
Penemuan tersebut sangat berhubungan dengan stabilitas keamanan Amerika. Inilah yang memantiknya untuk bekerja keras di National Science Foundation bersama rekan-rekannya untuk menemukan alat yang dapat membawa mereka ke sana. Alat itu akhirnya diambil alih oleh Negara.
Klimaks dari film tersebut berkisah soal pengalaman mistis yang dialami oleh Ellie, yang sebelumnya tidak mempercayai suatu realitas yang tak berfisik, materialssm. Pengalaman itu terjadi saat mesin (semacam kapal) yang dilengkapi oleh helm solenoid (helm besi pengantar ke pengalaman masa lampau) yang dapat membawanya itu mengalami gangguan, ia akhirnya kehilangan komunikasi dengan rekan ahli yang mengawasi.
Saat berada dalam mesin itu, ia merasa dirinya menembusi 'terowongan-terowongan cahaya' luar biasa, dan menyaksikan kemegahan galaksi. Ia bahkan  dihantar berjumpa dengan ayahnya yang telah meninggal dalam dunia yang amat menyejukan.Â
Setelah ia sadar, ia berpikir bahwa pengalaman tersebut adalah hasil kerja mesin, padahal ia telah mengalami suatu near death experience. Pengalaman inilah yang akhirnya membuat ia meyakini bahwa sains saja tidak cukup menjelaskan suatu realitas, melainkan iman.
Pengalaman dekat-ajal dari Ellie Arroway inilah yang menjadi kajian dari analisis ini, sekadar membuktikan adanya Tuhan lewat pengalaman mistis. Itulah sebabnya, saya akan menggunakan pemikiran dari tokoh Mario Beauregard, seorang Neurosains non-materalistik yang meneliti soal validitas dari pengalaman mistis, sebagai pembuktian adanya Tuhan (http://drmariobearegard.com/bio/). Kajiannya ini dapat ditemukan dalam dua bukunya yang berjudul, The Spiritual Brain (2009) dan Brain Wars  (2012).Â
Namun dalam analisis ini, penulis akan lebih menggunakan The Spiritual Brain, karena pembuktian-pembuktian neurosains non-materialisme dalam buku ini, sangat pararel dengan pengalaman Ellie Arroway, dalam film The Contact. Beauregard menyebutnya 'pengalaman dekat---ajal'.
Pandangan Neurosains Materialisme akan Tuhan
Neurosains merupakan ilmu yang menganalisis soal fungsi saraf otak, dan sensitivitasnya melalui proses lingkungan. Neurosains materialisme sendiri berarti, penelitian yang berusaha membuktikan bahwa realitas sesungguhnya adalah yang berbentuk fisik, yang berwujud. Segala yang tidak berwujud termasuk hal-hal abstrak (cinta, harapan, pikiran, etc) adalah product of brain, demikianpun dengan Tuhan.Â
Mereka berpandangan bahwa dunia dan segala isinya, pada dasarnya terdiri dari anasir-anasir material yang hukum-hukumnya bisa dimengerti dan dijelaskan secara tuntas oleh ilmu pengetahuan, khususnya fisika dan kimia. Maka penjelasan yang relevan hanya menyangkut 'causa materials' dan 'causa efficient' (J. Sudarminta, Filsafat Proses, 29).Â
Memang benar bahwa gagasan tentang otak sebagai pusat, bukanlah pandangan yang baru. Fenomena ini telah muncul sejak zaman pencerahan, dengan istilah otonomi nalar. "Manusia yang otonom, hanya bersedia menerima apa yang diyakini sendiri, dan ia hanya meyakini apa yang bertahan, berhadapan dengan pemeriksaan nalar" (F. Mangis Susesno, Menalar Tuhan, 59).
Paham materialisme merupakan benih awal dari ateisme. Mereka cenderung menakarkan Tuhan dengan standarnisasi  ilmu-ilmu pasti; Matematika, Fisika, Kimia. Padahal Tuhan tidak memiliki jumlah, tidak terikat pada ruang dan waktu, dan yang lebih utama Ia Transenden. Manusia dari segi empiris saja telah terbatas, dan pemahamannya pun sejauh yang ditangkap oleh indra.Â
Meskipun demikian, materialisme pun turut memberi stimulus bagi agama dalam mempertanggungjawabkan ajaran imannya. Saya menyebutnya sebagai stimulus, karena ada suatu paradoksal dalam kubuh materialisme sendiri. Artinya, mereka menolak sekaligus menjadikan pandangan non-materialis sebagai anak tangga untuk belajar 'lebih'. Sisi paradoks inilah yang tampak dalam film The Contact khususnya relasi antara Ellie Arroway dan Palmer Joss; menolak sekaligus menerima, membenci sekaligus mencintai, mengingkari sekaligus merasakan kehadiran Tuhan.
Beberapa dekade terakhir, mulai ada pengakuan neurosains materialisme tentang adanya kebenaran pengalaman mistis, namun tetap berpendapat bahwa otaklah yang menghasilkannya.Â
Menurut mereka, otak memiliki sistem 'limbik' yang terletak dalam 'lobus temporal' dan berfungsi sebagai media bagi emosi-emosi serta sangat berperan dalam pengalaman-pengalaman mistis. Pengalaman mistis seturut pandangan materialis adalah pengalaman asketis yang mengakibatkan hilangnya keterikatan dengan dunia normal (M. Alper, The "God" Part Of The Brain, 56).Â
Pendasaran teori ini sebetulnya bentuk 'mengalah' terhadap 'wibawa' agama, yang telah dayikini oleh hampir seluruh umat manusia. Ironinya, Mathew Alper kembali berpendapat bahwa, karena keyakinan agama itu telah tersebar luas, maka asumsinya adalah: agama hanyalah insting yang diwariskan secara genetika, dan karena telah ada sejak manusia perdana, maka pasti agama itu hanyalah sebagai mekanisme pertahanan hidup (Alper, 55).Â
Pendapat alper menurut Beauregard adalah sebuah hipotesa dari materialisme yang tidak pernah bisa diuji (The Spiritual Brain, 147). Mereka belum mampu menjelaskan, mengapa otak bisa menangkap realitas Transenden di balik agama. Jika memang Tuhan adalah akibat aktivitas otak, bagamaimana otak dapat mengenalinya?
Neurosains Non-Materialisme: Pengalaman Mistik dr. Ellie Arroway, 'The Contact'
Sebenarnya dengan adanya pembuktian materialisme yang berstempel, manusia harus menyadari akan keterbatasan teorinya sediri. Kaum materialis tidak menyadari bahwa kosmos ini, mempunyai realitas yang melampaui penjelasan akal budi. Justru, penjelasan akal budi dalam arti tertentu memiskinkan kekayaan pengertian yang terdapat dalam suatu realitas atau objek. Jalan terakhir, sains pun harus menghargai apa yang menjadi kepercayaan konvensional.
Ada dua reaksi masyarakat dalam film The Contact, masyarakat yang menerima riset dr. Ellie, dan yang menolaknya. Uniknya, alasan penerimaan maupun penolakan tetap bersandar pada realitas Maha Agung di balik agama, 'Tuhan atas sains'. Mereka bukanlah orang-orang akademisi yang berpatokan pada disiplin ilmu, melainkan menyandarkan diri pada pengalaman-pengalaman akan Tuhan, pengalaman mistis. Pengalaman mistis merupakan pengalaman akan hadirat Tuhan yang mengagumkan sekaligus menggetarkan.Â
Pengalaman ini jugalah yang dialami oleh dr. Ellie dalam uji coba penemuannya itu. Beauregard menyebut pengalaman tersebut sebagai 'pengalaman dekat---ajal'.Â
Menurut risetnya, saat seseorang mengalami pengalaman dekat---ajal, kesadaran dirinya akan menembusi suatu terowongan, di mana terdapat cahaya yang membawa masuk orang dalam suatu realitas yang ternyata no-exist dalam dunia fisik. Ia lalu menggunakan pengalaman nyata Pam Raynolds untuk membuktikan bahwa pengalaman dekat-ajal sungguh-sungguh rill.
Pam Raynolds adalah seorang penyanyi dan penulis yang pada tahun 1991 menderita anerisma arteri basilar raksasa (pembengkakan pembuluh darah di batang otak), yang jika pecah, maka ia pun akan terbunuh. Otaknya akhirnya dibedah melalui operation stansill (henti jantung hipotermik). Ia mengalami suatu kematian klinis. Dalam proses bedah itu ia mengaku, ia keluar dari tubuhnya dan menyaksikan proses pembedahan otaknya. Setelah itu ada semacam 'terowongan cahaya' yang membuatnya terasa melayang dari ruang operasi menuju suatu dunia yang amat lain. ia berjumpa dengan keluarganya yang telah lama meninggal, dan realitas jagat yang tercipta dari cahaya itu.
Pengalaman ini berakhir kala pamannya yang juga telah meninggal, membawa Raynolds kembali ke tubuhnya. Pengalaman ini unik, karena realitas yang terjadi ia berada dalam pengawasan para dokter dan secara medis ia sedang mengalami kematian klinis; jantung dalam kondisi fibrilasi ventrikulas dan aktivitas di otak tidak ada. Lebih dari itu, ia pun mengingat segala fakta dari proses pembedahannya yang dapat diverivikasi (The Spiritual Brain, 186). Takhayulkah ini?
 Ada dua penegasan yang dapat diambil dari kasus Raynolds, 1) pikiran, kesadaran, dan diri masih bisa bekerja walau otak tidak berfungsi, 2) pengalaman mistis itu terjadi di saat otak tidak berfungsi, sedangkan neurosains materialisme berpandangan bahwa segala sesuatu termasuk kesadaran muncul dari aktivitas otak (M. Beauregard, The Spiritual Brain, 187).
Pengalaman dr. Ellie Arrroway dalam film The Contact dan kisah Raynolds menunjukan suatu kopleksitas dari manusia yang integral, manusia yang sadar bahwa ada realitas fisik yang dapat dijelaskan secara empiris, namun juga ada realitas metafisik yang dapat dipercayai melalui pengalaman mistis.Â
Kita perlu menyadari bahwa agama maupun sains memiliki kebenaran di dalam pandangan mereka masing-masing. Lebih dari itu, dengan jujur kita harus mengakui pengalaman dua tokoh yang berbeda ini merupakan gugatan terhadap materialisme sekaligus mengembalikan manusia pada sumber asalinya, Tuhan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI