Pandangan Neurosains Materialisme akan Tuhan
Neurosains merupakan ilmu yang menganalisis soal fungsi saraf otak, dan sensitivitasnya melalui proses lingkungan. Neurosains materialisme sendiri berarti, penelitian yang berusaha membuktikan bahwa realitas sesungguhnya adalah yang berbentuk fisik, yang berwujud. Segala yang tidak berwujud termasuk hal-hal abstrak (cinta, harapan, pikiran, etc) adalah product of brain, demikianpun dengan Tuhan.Â
Mereka berpandangan bahwa dunia dan segala isinya, pada dasarnya terdiri dari anasir-anasir material yang hukum-hukumnya bisa dimengerti dan dijelaskan secara tuntas oleh ilmu pengetahuan, khususnya fisika dan kimia. Maka penjelasan yang relevan hanya menyangkut 'causa materials' dan 'causa efficient' (J. Sudarminta, Filsafat Proses, 29).Â
Memang benar bahwa gagasan tentang otak sebagai pusat, bukanlah pandangan yang baru. Fenomena ini telah muncul sejak zaman pencerahan, dengan istilah otonomi nalar. "Manusia yang otonom, hanya bersedia menerima apa yang diyakini sendiri, dan ia hanya meyakini apa yang bertahan, berhadapan dengan pemeriksaan nalar" (F. Mangis Susesno, Menalar Tuhan, 59).
Paham materialisme merupakan benih awal dari ateisme. Mereka cenderung menakarkan Tuhan dengan standarnisasi  ilmu-ilmu pasti; Matematika, Fisika, Kimia. Padahal Tuhan tidak memiliki jumlah, tidak terikat pada ruang dan waktu, dan yang lebih utama Ia Transenden. Manusia dari segi empiris saja telah terbatas, dan pemahamannya pun sejauh yang ditangkap oleh indra.Â
Meskipun demikian, materialisme pun turut memberi stimulus bagi agama dalam mempertanggungjawabkan ajaran imannya. Saya menyebutnya sebagai stimulus, karena ada suatu paradoksal dalam kubuh materialisme sendiri. Artinya, mereka menolak sekaligus menjadikan pandangan non-materialis sebagai anak tangga untuk belajar 'lebih'. Sisi paradoks inilah yang tampak dalam film The Contact khususnya relasi antara Ellie Arroway dan Palmer Joss; menolak sekaligus menerima, membenci sekaligus mencintai, mengingkari sekaligus merasakan kehadiran Tuhan.
Beberapa dekade terakhir, mulai ada pengakuan neurosains materialisme tentang adanya kebenaran pengalaman mistis, namun tetap berpendapat bahwa otaklah yang menghasilkannya.Â
Menurut mereka, otak memiliki sistem 'limbik' yang terletak dalam 'lobus temporal' dan berfungsi sebagai media bagi emosi-emosi serta sangat berperan dalam pengalaman-pengalaman mistis. Pengalaman mistis seturut pandangan materialis adalah pengalaman asketis yang mengakibatkan hilangnya keterikatan dengan dunia normal (M. Alper, The "God" Part Of The Brain, 56).Â
Pendasaran teori ini sebetulnya bentuk 'mengalah' terhadap 'wibawa' agama, yang telah dayikini oleh hampir seluruh umat manusia. Ironinya, Mathew Alper kembali berpendapat bahwa, karena keyakinan agama itu telah tersebar luas, maka asumsinya adalah: agama hanyalah insting yang diwariskan secara genetika, dan karena telah ada sejak manusia perdana, maka pasti agama itu hanyalah sebagai mekanisme pertahanan hidup (Alper, 55).Â
Pendapat alper menurut Beauregard adalah sebuah hipotesa dari materialisme yang tidak pernah bisa diuji (The Spiritual Brain, 147). Mereka belum mampu menjelaskan, mengapa otak bisa menangkap realitas Transenden di balik agama. Jika memang Tuhan adalah akibat aktivitas otak, bagamaimana otak dapat mengenalinya?
Neurosains Non-Materialisme: Pengalaman Mistik dr. Ellie Arroway, 'The Contact'