Menjaga, dan melestarikan bahkan mencegah bukan merusak dan memusnahkan. Akankah upaya yang sudah dilakukan selama ini akan terasa bercanda dan sia-sia belaka?
Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konservasi/kon*ser*va*si/ /konservasi memiliki arti; pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian.
Ya, jika benar adanya rencana gila-gilaan oleh pemerintah yang akan membuka hutan dan lahan yang katanya tidak tanggung-tanggung yaitu 20 juta hektare (ha) hutan dan lahan itu tentu berlawanan dengan bangimana upaya dan konsep, prinsip, kaidah-kaidah konservasi yang selalu dan selama ini diagung-agungkan, digaungkan itu?
Di satu sisi kita diajak untuk menjaga, memilihara, dan melestarikan, tetapi disisi lain kita dihadapkan dengan rencana yang cukup tidak masuk akal (pembukaan hutan dan lahan) secara besar-besaran itu untuk ketahanan pangan, energi dan air.
Jika memang rencana itu benar-benar terjadi, maka ada konsekuensi besar yang dipertaruhkan. Â Pembukaan hutan dan lahan yang berskala besar itu dilakukan, tentu tidak sedikit yang dikorbankan, diganggu dan dirusak (ekosistem pasti terganggu) dan rusaknya keanekaragaman hayati, serta masyarakat akar rumput yang akan menerima dampak langsung baik atau pun tidaknya. Akan tetapi, jika boleh mengira, hampir pasti dampak dari pembukaan hutan dan lahan sedikit banyak berdampak negatif bagi lingkungan.
Pertama, jika pembukaan hutan dan lahan berskala besar terjadi, maka ragam biodiversitas atau keanekaragaman hayati berpotensi hilang lenyap secara sia-sia begitu saja. Padahal amanat undang-undang nomor 32 tahun 2024 sudah jelas mengatur terkait upaya tetap menjaga relevansi prinsip-prinsip konservasi.
Lalu, mengapa dari pemerintah dalam hal ini Kementrian Kehutanan malah seolah-olah main-main dengan peraturan dan perundangan-undangan yang ada, atau malah ini menjadi tanda bahwa hutan alam ini sudah dirasa tidak perlu lagi kah bagi kehidupan dan sumber hidup dari sebagian makhluk hidup yang mendiami hutan alam ini?
Ragam tumbuhan, hewan/satwa/binatang sudah pasti akan hilang tempat hidup dan semakin sulit berkembang biak apabila hutan alam ini tak bersisa.
Sejatinya hutan alam yang merupakan titipan ini sudah sepantasnya untuk dijaga, dipelihara dan dilestarikan, bukan malah dimusnahkan.
Setelah hutan dibabat, terus siapa lagi yang akan bertanggung jawab untuk memulihkan dan menanam kembali? Pemerintah? Masyarakat? Nunggu berapa lama lagi hutan alam ini akan tumbuh seperti semula?
Tanya siapa? Entahlah. Tetapi sejujurnya hutan alam di Indonesia ini yang katanya melimpah dan surga bagi ragam tumbuhan, hewan dan tentu saja kita akan tinggal cerita apabila pembukaan hutan alam benar-benar terjadi nanti.
Tangis dan ratapan, konflik sosial sepertinya akan sulit terelakkan jika hutan alam ini dibuka secara besar-besaran. Hampir pasti, tidak sedikit orang yang akan berlomba-lomba mencari, menguasai tanah-tanah tak bertuan atau tanah masyarakat, tanah adat atau pun tanah yang tidak boleh diganggu gugat lainnya.
Bencana ekologis pun hampir dipastikan akan terjadi apabila tidak ada solusi jitu cara memperbaiki tata kelola lahan yang mungkin selama ini pun sangat rentan terjadinya konfik si tuan dan si akar rumput yang semakin sering muncul di permukaan.
Berharap, pemerintah mengkaji ulang tentang rencana pembukaan lahan berskala besar tersebut, dengan mempertimbangkan berbagai dampak-dampak yang ada demi masyarakat dan tentu saja keberlanjutan nafas kehidupan semua makhluk hidup. Mengingat, lahan pangan, energi dan air sejatinya tanpa pembukaan lahan berskala besar (tanpa mengorbankan hutan alam ini) pun sejatinya bisa dilakukan.
Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H