Sebelum dianyam, rotan-rotan tersebut diperoleh dari hutan. Rotan-rotan pun tidak langsung dianyam, bilh-bilah yang sudah dibelah agar tidak tajam (rata sisi-sisi bilahnya) selanjutnya dijemur. Setelah kering, rotan-rotan tersebut bisa langsung dianyam, sesuai keinginan, ingin dianyam apa pun sesuai dengan keinginan si penganyam/perajin anyaman.
Saat ini, tidak banyak lagi tersedia rotan di kampungku, salah satunya karena untuk mendapat rotan harus berjalan kaki cukup jauh menuju hutan. Selain itu, ketersediaan rotan-rotan di hutan pun sudah tidak banyak lagi tersedia.
Seperti ibuku, biasanya beliau menganyam taroket, penangkin, badang, ragak dan lain-lain memerlukan waktu yang cukup lama, jika mengayam badang dan penangkin bisa memerlukan waktu satu minggu, menganyam tangguk atau ragak bisa dianyam dalam waktu satu malam.
Lebih lanjut, Ibu berharap, ada generasi muda yang mau belajar menganyam. Jika tidak, bisa saja, kata ibu generasi penerus tidak bisa lagi menganyam anyaman (tidak ada yang menjadi penerus menganyam).
Sama dengan ibuku, saya pun berharap, kelak ada generasi muda yang mau dan belajar menganyam anyaman seperti ini. Dengan demikian, anyaman-anyaman seperti taroket, bajot, copan, karampan, jare dan lain-lain masih bisa dijumpai masa akan datang. Mari kita rawat tradisi, Salam lestari...!!! Salam budaya.... !!! dan semoga anyaman seperti ini bisa lestari hingga nanti.
Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H