Menganyam tikar pandan sekaligus melestarikan tradisi leluhur dan lingkungan. Setidaknya itulah yang dilakukan oleh para perajin binaan/dampingan Yayasan Palung (YP).
Ya, benar saja, mewarisi tradisi menganyam yang dilakukan oleh para peranjin tikar pandan ini merupakan warisan yang masih terjaga hingga kini.
Budaya menganyam bagi masyarakat di Tanah Kayong (sebutan untuk masyarakat lokal di Kayong Utara) masih menjalankan tradisi dan budaya ini.
Konon, menurut cerita, dulu, bagi wanita yang belum bisa menganyam maka belum boleh berkeluarga (menikah). Jadi, jika boleh dikata, ini sudah menjadi tradisi dan budaya masyarakat setempat, dengan demikian secara tidak langsung para wanita yang ingin berkeluarga harus belajar dan harus bisa menganyam. Masyarakat pun masih mewarisi tradisi dan budaya menganyam ini sampai saat ini.
Selain merawat (menjaga) tradisi, para perajin yang menganyam tikar seperti ini juga menjadi salah satu cara untuk menjaga dan merawat lingkungan. Ibu-ibu perajin ini secara tidak langsung mencegah agar tidak lagi merambah hutan karena pekerjaan mereka sudah beralih dengan menganyam tikar.
Saban hari, para perajin binaan selalu menyempatkan waktu untuk menganyam tikar dan produk kerajinan lainnya dari kreasi dan keterampilan mereka sendiri seperti tas dan lain-lain. Beberapa diantara para perajin sudah sangat lincah dan terampil menganyam tikar pandan dan membuat kerajinan lainnya.
Seperti misalnya kelompok perajin tikar pandan, Ibu Ida bersama rekan-rekannya, tidak pula soal menganyamnya, tetapi juga soal motif-motif anyaman yang mereka anyaman. Motif-motif (corak) khas masyarakat setempat (di Tanah Koyong) seperti motif pucuk rebung sebagai ciri khas dan motif-motif anyaman lainnya sesuai keinginan selera perajin.