Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) Aku Hutan?

9 Agustus 2021   15:16 Diperbarui: 9 Agustus 2021   16:18 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Hutan. (Iwan Setiyawan/Kompas).

Aku tumbuh (hutan), berakar dan bertajuk hingga aku pun disebut hutan

Tetapi kini masihkah boleh disebut hutan?

Jika boleh, apakah alasannya?

Karena kiranya aku tak layak lagi disebut hutan, apakah demikian?

Seingatku, apabila aku disebut hutan maka aku bisa menopang, bisa menjaga dan menyejukkan ragam nafas hidup.

Aku disebut hutan bila mampu memberi manfaat bagi semua di sekitarku.

Bukan kehendakku, Sang Pencipta memberikan titah agar aku dapat berguna sesama ciptaan.

Lihatlah aku yang dinamakan hutan itu, jika hendak dikata sudah tidak selayaknya lagi aku disebut hutan.

Sakitku sudah menumpuk, tubuhku sepanjang hari tersakiti. Aku tak kuat lagi berdiri jika begini adanya.

Patah tak tumbuh hilang layu dan lenyap itu adanya aku kini. Itu berlaku hingga hari ini.

Akarku yang semula kokoh berdiri kini tercerabut, tak jarang menjadi kisah pilu bagi sesama makhluk lain yang mendiamimu.

Orang menyebutku tak hanya hutan sesungguhnya tetapi rumah bersama dan semua.

Tangis pilu ragam satwa acapkali terdengar karena aku (hutan) tak layak lagi dikatan sebagai rumah.

Semula aku tumbuh dengan rimbun berganti lapang lindang karena tangan-tangan tak terlihat membuat aku tersungkur. Badanku terpotong dan menjadi luluh layu bersama ranting-rantingku.

Tak sedikit pula mengeluh ketika hujan atau kemarau tiba. Musim penghujan air melimpah ruah hingga tak jarang banjir menghadang. Bila kemarau tiba air sulit didapat, kering kerontang mendera.

Panas terik kepanasan, hujan deras kesejukan, sepertinya ini menjadi cerita baru hingga orang berkata dan ingat hadirnya aku (hutan) sebagai penopang.

Banyak yang berharap agar ada ada banyak tangan menolong agar aku masih boleh dan mampu sebagai penopang.

Aku sadar, ada banyak orang yang menghendakiku agar aku masih selalu ada.

Namun, dengan kondisiku begini, mampukah aku?

Harap dan selalu berharap, aku pun demikian (berharap) agar boleh kiranya selalu harmoni.

Tapi tanyaku, apakah kita masih dan sudah harmoni hingga kini?

Entahlah, tetapi seandainya jika aku masih boleh disebut hutan maka sayangi aku dengan cara merawatku bukan membabatku.

Aku yakin, bila hari ini hingga nanti banyak orang yang peduli padaku, dengan menanam, merawat dan menjagaku maka aku akan selalu ada selamanya. Sebaliknya jika tak banyak yang peduli padaku, perlahan-lahan aku terkikis habis dan tinggal cerita saja.

Petrus Kanisius-Yayasan Palung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun