Akarku yang semula kokoh berdiri kini tercerabut, tak jarang menjadi kisah pilu bagi sesama makhluk lain yang mendiamimu.
Orang menyebutku tak hanya hutan sesungguhnya tetapi rumah bersama dan semua.
Tangis pilu ragam satwa acapkali terdengar karena aku (hutan) tak layak lagi dikatan sebagai rumah.
Semula aku tumbuh dengan rimbun berganti lapang lindang karena tangan-tangan tak terlihat membuat aku tersungkur. Badanku terpotong dan menjadi luluh layu bersama ranting-rantingku.
Tak sedikit pula mengeluh ketika hujan atau kemarau tiba. Musim penghujan air melimpah ruah hingga tak jarang banjir menghadang. Bila kemarau tiba air sulit didapat, kering kerontang mendera.
Panas terik kepanasan, hujan deras kesejukan, sepertinya ini menjadi cerita baru hingga orang berkata dan ingat hadirnya aku (hutan) sebagai penopang.
Banyak yang berharap agar ada ada banyak tangan menolong agar aku masih boleh dan mampu sebagai penopang.
Aku sadar, ada banyak orang yang menghendakiku agar aku masih selalu ada.
Namun, dengan kondisiku begini, mampukah aku?
Harap dan selalu berharap, aku pun demikian (berharap) agar boleh kiranya selalu harmoni.
Tapi tanyaku, apakah kita masih dan sudah harmoni hingga kini?