Peranmu sebagai satwa sungguh terasa bagi kami. Hadirmu memberi makna kata tentang rasa, bagaimana pula kami dan kita semua harusnya berbuat.
Kami mengerti, jika nasibmu terus seperti ini, bagaimana lagi engkau mencari cara agar bisa bertahan. Bertahan untuk menjalankan sisa-sisa dari yang tersisa peran sebagai penyemai, agar tajuk-tajuk kiranya boleh bertumbuh lagi. Itu sebagai secercah harapan, jika kami boleh berharap.
Semestinya nafasmu dan nasibmu sama seperti kami boleh berharap, berlanjut hingga nanti. Kami hanya bertanya pula, salahkah engkau sebagai satwa primata yang selalu memberi namun tidak jarang engkau dilupakan (terlupakan) karena peranmu sebagai penyemai.
Kami  yang juga sebagai sesama makhluk hidup pun begitu merasa peranmu sebagai satwa primata yang tanpa lelah memberi dan begitu berarti bagi semua.
Satwa primata memberi tanya kepada kita semua pula agar bagaimana kita berperilaku. Seingatku peranmu sebagai satwa primata begitu besar. Satu kesatuan ekosistem yang ada dibumi ini akan terpengaruh bila engkau semakin terancam dan langka bahkan punah.
Rindu akan sentuhan dari semua sebagai harmoni bersama. Harmoni tak lain sebagai cara, cara agar kiranya kita semua tidak sendiri-sendiri (egois). Bukankah engkau sebagai penyemai tanpa pamrih memberi kepada kami semua.
Saat ini, engkau satwa tidak hanya langka, tetapi terancam bahkan sangat terancam punah karena banyak ulah oleh tangan-tangan tak terlihat namun terasa apa yang nyata kami rasakan.
Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H