Ketika kemarau mendera banyak yang meminta hujan turun untuk membasahi dan membasuh bumi sebab telah lama kering kerontang mendera melanda bumi ini.
Hujan turun sebagai penanda nafas dari semua makhluk menghapus dahaga yang terlanjur kering sejak berbeberapa bulan lalu.
Ku jadi ingat, tentang bara api yang merajalela menghampiri dan mendera bersama asap pekat membuat sesak tak kentara di dada. Entah sudah berapa banyak lahan yang terbakar karena bara api sangat menyukai lahan kering dan tanah lapuk.
Tak sedikit harta benda yang menjadi korban dari bara yang mendera meraja tanah tak bertuan dan tanah bertuan. Tanah, kebun, satwa yang mendiami tanah pun tak luput dari serangan api. Tak sedikit pula diantaranya tak bersisa.
Para pemadam selalu siap dan siaga memadamkan engkau bara api. Kami tahu, munculnya engkau banyak yang tidak menghendaki tetapi kami selalu muncul diam-diam tanpa memberi kabar. Angin bertiup membuat kami semaki  merajai. Hanya satu-satunya harapan agar bumi ini dibasuhi agar bisa tersirami. Kami takut bumi semakin sakit dan panas bara api semakin mendera tak kendali tetapi itu yang kami takuti ketika selalu terulang setiap tahunnya. Bumi panas mendera tak disangka bikin bencana yang selalu berulang setiap tahunnya.
Bumi sakit panas berkeringat perlu disirami dengan sejuknya hujan sebagai penyejuk jiwa. Kering kerontang jua sebagai penanda semua makhluk haus akan sejuknya seteguk air.
Saat ini hujan telah tiba dan bisa membasuh bumi. Membasuh agar kering kerontang dan bara api tak lagi menyerang kami. Agar bara tak lagi membuat gaduh si bara api penimbul asap.
Membasuh membersihkan sisa-sisa bara dan asap agar langit biru kembali. Hutan dan tanah air ini yang tak lain adalah bumi ini sebagai rumah bersama agar tak berlalurut berkabut hingga pagi dan senja sulit untuk membedakannya.
Hujan turun segala makhuk dan tumbuhan riang gembira menyambutnya. Selain sebagai penyejuk jiwa juga sebagai penanda akan tajuk-tajuk pepohonan tidak gersang lagi melainkan tersirami. Tumbuh-tumbuhan dari benih-benih baru pun siap ditanam kembali jika dikehendaki.
Membasuh bumi dari api berarti bisa membuat karhutla bisa berlalu. Kami merasa bila api menyerang dada atau paru-paru kami sama sesaknya dengan hutan belantara yang selalu didera karena kalah bijaksananya sehingga rimba raya tak bertuan hilang tak berbekas.
Cerita elok belantara tak lagi seindah dulu, irama sejuk berganti kering kerontang yang haus akan hujan dan tangan-tangan terampil untuk menjaga bumi sebagai rumah sekaligus ibu bersama kita.
Hutan dan tanah air tidak akan menangis bila ia dilukai hingga dicambuk dan didera. Ia akan selalu setia dengan semua makhluk. Sebaliknya, kitalah yang selalu memilih untuk tidak setia dengan bumi walaupun ia (bumi) telah menyiapkan semuanya bagi kita.
Hutan dan tanah air saat kering kerontang memang ia perlu untuk dibasahi/dibasuh oleh hujan apalagi ketika bara api mendera.
Hutan tanah di bumi perlu dibasahi agar tidak kering kerontang, agar  panas tak kentara mendera. Demikian pula hutan, ia akan tiba sebagai penanda penyejuk jiwa agar semua nafas tak lagi kalut kalang kabut mendera di bumi ini. Manusia sebagai penjaga bumi sebagai ibu dari semua makhluk hidup. Semua makhluk hidup bisa bersukaria menyambut datangnya hujan sebagai penyejuk jiwa dan berharap api tak lagi mendera. Dengan datangnya hujan berharap tak membuat gaduh yang menimbulkan banjir. Bumi milik kita bersama, mari kita jaga bersama agar tak punah dimakan jaman. Semoga saja...
Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H