Petani, siapa tak kenal dengan petani. Saya pun petani karena ayah-ibu, kakek dan nenek adalah petani. Ada yang mengatakan petani adalah segalanya dan memiliki tempat istimewa. Ada pula yang bilang, tak ada nasi jika tak ada petani.
Semua negara, hampir pasti memiliki petani. Petani padi, petani kopi, petani jagung, petani sayur, petani buah-buahan, petani cabe dan petani-petani lainnya yang memiliki peranan penting bagi penyambung nafas (pemenuhan/penyedia kebutuhan) kehidupan di bumi nusantara Indonesia ini.
Petani Indonesia pun tergolong sangat ulet dan berperan besar sebagai penyedia bagi semua kebutuhan hidup hingga saat ini sejak berpuluh-puluh tahun lalu.
Ada petani, maka semua terpenuhi. Kira-kira demikian adanya. Kita tak mengenal nasi mungkin jika tak ada petani sawah/ladang. Tak ada kopi, jika tak ada petani kopi dan seterusnya.
Para petanilah yang saban waktu selalu menyediakan waktu tanpa mengenal lelah mereka untuk bertani (bercocok tanam) bekerja dari pagi hingga senja menyapa.
Ada petani buah, ada petani sayur, ada petani beras dan ada petani kopi dan semua petani. Mereka bisa dikata sebagai penyedia sumber hidup kita dari generasi ke generasi.
Wajar kiranya, Indonesia disebut sebagai negara agraris karena satu diantaranya karena hadirnya petani. Penyedia sumber tanaman pangan boleh dikata adalah petani Indonesia rajanya.
Sumber sayur, sumber buah-buahan dan makanan pun jadi sangat mudah didapat di Indonesia karena adanya petani kita Indonesia.
Ada petani kita bisa menikmati makanan dan sayuran segar, demikian pula dengan buah-buahan dari hasil para petani. Semua wilayah di Indonesia, memiliki kekhasan masing-masing dari hasil pertanian seperti buah-buah, padi dan sayur-sayuran.
Bagaimana para petani di Kalimantan misalnya, mereka melaksanakan tradisi menanam padi, sayuran dan buah-buahan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Sistem berladang/bertani yang menggunakan syarat-syarat penghargaan terhadap alam begitu menjadi perhatian mereka.Â
Tata aturan berladang pun menjadi syarat mutlak agar saat membakar agar tidak meluas, dengan cara/sistem perladangan sekat bakar. Tetapi terkadang, petani acap kali menjadi tertuduh karena dianggap sebagai penjahat dan biang dari sumber kebakaran. Pada intinya masyarakat di pedalaman menggunakan tata aturan yang boleh dikata sangat menghargai hak-hak semua nafas kehidupan.
Para petani di pedalaman atau di kampung  menggunakan adat dan tradisi (tidak sembarangan membakar/membuka lahan). Mereka (para petani) terlebih dahulu menggunakan ritual tertentu terebih dahulu baru membuka ladang sebagai ijin permisi kepada Duata/Duwata (Sang Pencipta).
Hampir 80% masyarakat adat (Indigenous Peoples) Dayak di Kalimantan mata pencahariannya berladang. Berladang bukan sekedar untuk hidup tapi ladang turut membentuk peradaban orang Dayak. Karena dari membuka lahan hingga akhir panen ada aturan yang hatus ditaati, adatnya inilah yang membentuk kebudayaan Dayak. Tidak benar aktivitas ladang berpindah sama dengan kegiatan merusak hutan. Istitut Dayakologi menyebutkan bahwa sistem ladang berpindah itu sebagai sistem pertanian asli terpadu (integrated indigenous farming system). Bukan ladan gberpindah tetapi ladang bergilir. Selengkapnya disini Â
Bagi masyarakat petani, bertani sudah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan sejak dulu hingga saat ini yang harus lestari. Dengan bertani maka pemenuhan akan kebutuhan hidup terpenuhi. Hidup dari alam dan makan dari alam. Hargai alam karena ia memberi sumber hidup.Â
Hormati hutan dan tanah air agar ia bisa juga menghormati kita agar kita semua bisa lestari. Ada petani maka kita hingga hari ini bisa menikmati sumber makanan berupa sayur-sayuran dan buah-buahan. Selamat hari petani dan teruslah maju para petani di negeriku.
Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H