Nasibmu si petani hutan kini semakin sulit untuk ditebak, hari-harimu semakin tak menentu. Rumahmu sebagai tempatmu berkembang biak dan berdiam semakin terkikis kritis menjelang habis.
Apa yang salah hingga membuat kami dalam keadaan seperti ini (kritis) menjelang habis. Hanya mengaduh, sampai gaduh melihat nasibmu kini si petani hutan (orangutan). Kritis berarti dirimu sangat terancam punah. Ini berarti menjadi kekwatiran semua tentang keberlanjutan nafas hidupmu apakah masih lama berlanjut atau menjadi tinggal cerita. Namun, semua berharap ada asa untuk melihat keberlanjutan nafas hidupmu.
Peran pentingmu sebagai petani hutan tak sanggup kami menggantikannya. Sungguh tak sanggup menyamaimu sebagai penyemai yang bijak. Engkau disiplin menyebar biji-bijian, buah-buah hutan dari sisa makananmu yang boleh menjadi tunas-tunas baru rerimbunan tajuk-tajuk pepohonan tempat semua makhluk berteduh dan berdiam juga semakin tidak menentu.
Kini, selain rumah dan tempatmu berdiam berupa hutan semakin terhimpit menyempit, tetapi juga ada kegaduhan lain pula yang kini mulai mendera. Raga, rasa segala bernyawa di rerimbunan mulai mengerang bukan girang tetapi resah gelisah tak menentu panas terik mulai mendera tanpa banyak lagi bisa berlidung karena tajuk-tajuk pun tak sedikit yang rebah tak berdaya.
Saban waktu raung menghampiri ruang dan rumahmu, di segenap penjuru tanah moyangmu. Renda-renda asa menyelamatkan tanah moyang terkadang rintih kalah bersaing para pembesar.
Angin bertiup kencang membawa kabar berita selalu mengadu tentangmu dan sahabat-sahabatmu yang jua si petani hutan tak terkecuali enggang, Â kelempiau dan kelasi.
Kisah peraduan mengadu, tentang kisah kasih yang rindu mengasih tali asih tampa rintih, tak pamrih bukan duka lara.
Sadarkan rasa untuk pengingat, jika ingat tentang nasibmu yang kritis. Mencari obat manjur sebagai langkah pasti. Sudah pasti, jika aku mengalah aku kalah. Jika aku melawan aku pun belum tentu menang. Aku tak tahu, apakah aku pasrah menyerah dengan adanya situasi ini.
Gagap gempita, riuh rendah tentang mu terpaksa mengalir searah dengan nada dan tanda dokma. Dokma irama yang menggelora tetapi bisa mencipta bahaya yang kapan saja bisa bicara yang banyak menyebutnya bencana alam.
Alam tak menciptakan bencana sejatinya. Ada sebab maka alam bicara dalam bahasanya masing-masing. Demikian juga petani hutan, ia mengeluh mengaduh dalam bahasa nyata. Bila mereka tetap ada maka alam pun bijaksana.