Di Penghujung tahun 2018 kemarin, saya berkesempatan untuk liburan karena bertepatan dengan libur natal.
Setibanya di kampung, sanak saudara di kampung-kampung lebih khusus di Kecamatan Simpang Dua, Ketapang, Kalimantan Barat, ternyata dibanjiri oleh hasil panen buah karena musim buah tahun ini merata terjadi alias panen Raya. Satu sebagai pengingat, menurut cerita masyarakat di kampung, adanya buah raya boleh dikata karena alasan kearifan lokal yang masih terjaga.
Panen Raya yang ada di kampung boleh dikata berbuah secara merata, hampir semua buah berbuah. Buah satar/buah gandaria (Bouea macrophylla Griffith), buah langsat (Lansium domesticum Correa), buah cempedak, buah mentawak (Artocarpus Integer), buah pekawai/durian kuning (Durio kutejensis) dan buah durian (Durio Zibethinus). Ada pula panen buah kapul dan buah Kalimantan.
Istilah masyarakat inilah (kampong loboh laman banua dan buah janah/kampong buah) setidaknya yang menjadi penguat mengapa adanya panen buah raya (panen buah melimpah).Â
Setiap masyarakat atau pun keluarga memiliki kampong buah, kampong buah inilah yang setiap musim buah selalu dibanjiri panen buah. Kampong buah merupakan salah satu kearifan masyarakat yang hingga saat ini masih ada dan terjaga adanya.
Saat musim buah juga hal yang tak kalah menyenangkan dialami oleh teman-teman relawan Rebonk. Beberapa dari teman-teman relawan Rebonk ternyata ada yang memiliki ke kebun durian di Dusun Melinsum, Desa Sejahtera, Kabupaten Kayong Utara. Mereka pun mengajak nyandau durian (panen bersama) sesama relawan. Kebersamaan untuk berbagi, menyandau dan menikmati hasil sandauan bersama.
Ya, benar adanya demikian yang dirasakan itu, mengingat di kota-kota kita mesti mengeluarkan rupiah dan cukup mahal. Tetapi di kampung, rerata masyarakat masih setia dan tak ragu alias ikhlas dengan arti berbagi.Â
Demikin juga ketika ada lauk pauk, tetangga-tetangga tak pelit untuk memberi/berbagi. Asyikk... dalam benakku berkata. Tak hanya asyiknya kita beroleh buah-buahan dari hasil pemberian, demikian juga lauk pauk. mata sama melihat, sama merasa (mata sama melihat, sama merasakan), artian inilah arti dari kearifan lokal yang terus berjalan.
Bahkan menariknya lagi, kebun buah kita jika berbuah banyak boleh di sandau (boleh dipanen) oleh warga/tetangga lain, mereka boleh memberi kita (intinya lagi dan lagi adalah sama-sama berbagi) agar tidak kempunan (agar tidak mengalami kesialan/mengalami) gara-gara tidak menikmati buah, demikian juga halnya dengan lauk pauk, jika tetangga yang bersebelahan rumah dengan kita apabila kit beroleh lauk pauk asal masakan dari lauk pauk tersebut halal maka harus dibagikan.
Kembali lagi ke pembahasan panen buah atau pun juga musim buah raya, buah durian, buah langsat, buah manggis dan buah cempedak, dan buah mentawak dan buah satar, ini yang primadona selama musim buah berlangsung. Dengan kata lain, buah-buah ini yang menjadi sasaran utama para penikmat buah, karena jarang sekali buah-buah ini dinikmati setiap harinya.
Jika buah durian, itu sangat istimewa sekali. Lundik durian (daging buah durian) selain bisa dinikmati, tetapi juga daring durian bisa diolah menjadi lempok (durian yang diolah/digoreng) dan ada juga yang dibuat sebagai dodol (digoreng dicampur tepung dan gula).Â
Nah, ada lagi yang membuat buah durian sangat diminati, ya karena lundik durian tempoyak bisa diolah menjadi tempoyak (daging durian yang dipermentasikan, setelah sebelumnya lundik durian digarami).
Wah bila dimasak, rasanya maknyus... demikian juga tempoyak sangat enak apabila dicampur dengan ikan baong atau ikan tapah. Hal yang sama tempoyak sangat enak jika dimasak dicampur dengan daging segar. Bolahlah kirannya untuk dicoba, jika ada yang terbiasa makan tempoyak.Â
Keistimewaan dari musim buah durian, jika buahnya bisa dijual tetapi tak laku hingga harga jualnya murah karena banjir buah, para perajin tempoyak berlomba-lomba membelinya dengan harga murah karena mereka memanfaatkan buah durian yang tidak laku tersebut diolah menjadi tempoyak.Â
Dan ternyata, setelah tempoyak jadi, banyak juga yang ingin membeli tempoyak. Satu kilogram tempoyak bisa dihargai (dijual dengan harga 40 ribu hingga 60 ribu rupiah) bahkan harga tempoyak bisa mencapai ratusan ribu jika sudah dikemas dalam ken 5 liter.
Kearifan lokal memang menjadi salah satu langkah atau cara lain bagi masyarakat kampung jika dicermati dengan pola pemahaman mereka dari dulu hingga kini, mereka sudah jauh maju dalam hal pola pikir untuk keberlanjutan serta kelestarian segala sesuatunya tanpa harus terus ketergantungan dengan orang lain.Â
Adanya kampung buah, pemenuhan akan kebutuhan hidup mereka terpenuhi. Selain juga hal terpenting yang mungkin patut untuk kita contoh adalah budaya menanam dan berkebun mereka yang tidak ada matinya. Mereka selalu berpatokan adanya kampong halaman harus pula dipenuhi oleh tanaman pohon buah dan tanaman obat-obatan tradisional.Â
Nah itu sekelumit ceritaku saat saya berkempatan pulang kampung kemarin. Selamat natal dan selamat tahun baru bagi rekan-rekan semua. Maaf baru sempat ucapkan dan maaf baru sempat orat oret, berhubung baru ketemu signal. hehehehe.......
Berharap kearifan lokal masyarakat seperti ini bisa terus berlanjut hingga nanti dan panen buah raya masih boleh kita rasakan hingga selamanya. Semoga juga di tahun-tahun mendatang panen buah raya masih boleh masyarakat kampung nikmati.
Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H