Musim berganti musim, waktu terus berlalu hingga tahun pun berganti tahun. Â Demikian pula, jaman terus berganti dan berubah. Dulu sampai sekarang ini, aku ingin mendongeng cerita tempo hari ketika aku berpuluh-puluh tahun mengembara berkelana di rimba raya (belantara) yang sepi namun tentram juga bersabat membuatku betah berlama-lama.
Aku hampir lupa memperkenalkan diriku, hehehe, namaku Mayas, karena aku suka mengembara maka aku pun lebih cocok disebut si pengembara.
Mengembara, berkelana, di seluruh rimba raya bertegur sapa dengan sesamaku yang juga penghuni yang sama pula bersamaku.
Aku disebut oleh sesamaku manusia dengan sebutan saudara tua mereka. Mengapa aku disebut sebagai saudara tua?. Ya, salah satunya karena aku tidak lain penghuni lama yang mendiami rimba raya (hutan belantara).
Keseharianku mengitari seluas-luasnya penjuru untuk mencari makan, bergelantungan, bermain dan bersukaria terkadang aku memanggil sesamaku sesama penghuni yang hidup berdampingan. Sesamaku itu ku sebut juga sebagai sahabat dan saudara-saudariku selain keluargaku juga tentunya, karena kami senasib sepenanggungan, ketika kami tinggal bersama.
Adanya kami semua sebagai penanda keutuhan tentang rimba raya yang  tergantung dan tergantung kepada kami. Aku dan sahabat-sahabatku, saudara-saudariku saban waktu sembari memakan buah sembari menabur alias menam. Iya, karena biji-bijian dari sisa-sisa kami makan akan tertabur dan tidak jarang menjadi tunas-tunas baru yang subur pula. Tunas-tunas itu saudara kami manusia menyebutnya adalah pohon. Bila pohon telah tumbuh besar dan berakar menjalar, maka air sebagai sumber kehidupan bagi kami dan teman-teman kami akan tersedia serta tercukupi. O iya, pohon-pohon yang akan tumbuh akan menjadi tempat kami berlindung, walaupun tidak mewah namun rumah kami dijamin paling aman untuk kami beristirahat.
Setiap waktu kami selalu membuat sarang, tergantung hari. Setelah senja menyapa, kami sedikit sibuk karena kami akan membuat rumah untuk beristirat malam hingga pagi. Setelah matahari muncul, kami mengelilingi wilayah di sekitar kami tinggal. Tujuan kami tidak lain untuk menyambung nyawa dengan mencari buah-buahan, daun-daun muda, kulit kayu, umbi-umbian dan serangga atau juga rayap. Â
Bila musim buah raya (musim buah melimpah) kami selalu besenang-senang dan tidak jarang bermalas-malasan tinggal di rumah yang kami sebut sarang. Bagi kami, kalau menjelang dewasa dan berkelamin jantan pasti mencari pasangan untuk berkembang biak. Bila bekelamin betina jika telah mengandung selalu sibuk menanti kelahiran dan merawat hingga berusia 6-7 tahun. Â
Aku menyebar biji atau penabur benih memang tugasku dari awal hingga kini. Selain tugas, mungkin itu sudah menjadi tanggungjawabku, dengan kata lain amanah dari Yang Kuasa kepadaku. Aku selalu bahagia  mendapat mandat itu dan disebut sebagai saudara tua penabur benih. Tentunya aku tidak sendiri, teman-temanku seperti burung rangkong, burung julang, kelempiau dan kelasi juga tidak jarang membantu tugasku.
Susah senang telah kulalui dari dulu hingga kini. Tetapi aku terus mencoba menjalankan tugasku sebagai penabur benih. Aku mencoba untuk selalu bersama dengan teman-temanku bahu membahu untuk berpacu menjalankan tugas mulia sebagai penabur benih ini.
Dari hari ke hari pula ruang dan waktu selalu kami pacu untuk menabur sembari kami sarapan pagi ataupun siang hari. Sisa-sisa yang kami sebar/tabur itu selalu kami harap menjadi bibit-bibit baru, tunas-tunas yang kelak tumbuh menjulang tinggi nan rimbun menaungi/melindungi kami.
Akan tetapi kami kerap kali kalah bersaing, kami selalu kalah jumlah dalam hal menabur saat ini. Itu yang menjadi kendala utamaku kini. Terkadang benih-benih yang mulai tumbuh berkembang rebah tak berdaya oleh deru mesin tangan-tangan tidak terlihat. Kami juga sangat ketakutan dan tidak jarang melarikan melarikan diri dan bersembunyi. Bila kami lari bersembunyi pun tidak luput dari intaian para pencari bersenjata berlaras panjang.
Kami terkadang mengeluh dan mengaduh dengan apa yang kami rasakan, tetapi apa daya kami tidak bisa bicara dengan bahasa apa. Terkadang kami hanya mampu berpasrah dengan keadaan, setelah kami berusaha mengungsi ke tempat yang lain tetapi tetap saja kami sekarang tidak lagi seperti dulu. Rumah kami kian terhimpit. Ruang gerak kami pun semakin sempit hingga nafas tersengal-sengal mengadu dengan bahasa tubuh kami. Kami pun semakin sulit untuk berkembang biak, rumah-rumah kami yang megah tetapi tidak mewah di rimba raya dimana dulu tempat kami bersukaria berganti semakin terkikis menjelang habis karena laris oleh para pelaris menawar menukar rumah kami yang mungkin juga rumah bagi semua sesama kami semua makhluk hingga terkikis.
Ku hanya berharap, disisa-sisa hidupku masih boleh mendapat mandat untuk menyebar, menebar, menyebar biji-bijian seperti sedia kala. Yang aku takut, aku punah di alamku dan orang-orang hanya mengenangku hanya lewat dongeng atau cerita semata.
Akhir kata, Aku Mayas yang dimaksud tidak lain adalah orangutan atau orang utan. Ada pula yang menyebut aku mandar yang maksudnya orang dari hutan yang berarti juga saudara tua dari manusia, aku juga sering disebut dengan sebutan Pongo.
Ketapang, Kalbar 3/3/2017
Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H