Akan tetapi kami kerap kali kalah bersaing, kami selalu kalah jumlah dalam hal menabur saat ini. Itu yang menjadi kendala utamaku kini. Terkadang benih-benih yang mulai tumbuh berkembang rebah tak berdaya oleh deru mesin tangan-tangan tidak terlihat. Kami juga sangat ketakutan dan tidak jarang melarikan melarikan diri dan bersembunyi. Bila kami lari bersembunyi pun tidak luput dari intaian para pencari bersenjata berlaras panjang.
Kami terkadang mengeluh dan mengaduh dengan apa yang kami rasakan, tetapi apa daya kami tidak bisa bicara dengan bahasa apa. Terkadang kami hanya mampu berpasrah dengan keadaan, setelah kami berusaha mengungsi ke tempat yang lain tetapi tetap saja kami sekarang tidak lagi seperti dulu. Rumah kami kian terhimpit. Ruang gerak kami pun semakin sempit hingga nafas tersengal-sengal mengadu dengan bahasa tubuh kami. Kami pun semakin sulit untuk berkembang biak, rumah-rumah kami yang megah tetapi tidak mewah di rimba raya dimana dulu tempat kami bersukaria berganti semakin terkikis menjelang habis karena laris oleh para pelaris menawar menukar rumah kami yang mungkin juga rumah bagi semua sesama kami semua makhluk hingga terkikis.
Ku hanya berharap, disisa-sisa hidupku masih boleh mendapat mandat untuk menyebar, menebar, menyebar biji-bijian seperti sedia kala. Yang aku takut, aku punah di alamku dan orang-orang hanya mengenangku hanya lewat dongeng atau cerita semata.
Akhir kata, Aku Mayas yang dimaksud tidak lain adalah orangutan atau orang utan. Ada pula yang menyebut aku mandar yang maksudnya orang dari hutan yang berarti juga saudara tua dari manusia, aku juga sering disebut dengan sebutan Pongo.
Ketapang, Kalbar 3/3/2017
Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H