Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Apa yang Terjadi Jika Petani Tradisional Dilarang Membakar Lahan?

26 Agustus 2016   13:05 Diperbarui: 27 Agustus 2016   10:18 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto pembukaan lahan oleh masyarakat utk berladang di KKU, tahun 2016. Foto dok. Yayasan Palung

Tidak bisa disangkal, pembakaran lahan (kebakaran lahan dan hutan) kembali terjadi. Beberapa minggu ini di bulan Agustus 2016, merupakan musim perladangan bagi para petani ladang tradisional untuk membuka lahan. 

Demikian pula halnya bagi pembukaan lahan yang berskala besar untuk area perkebunan. Larangan pembakaran lahan yang ada saat ini tidak terkecuali masyarakat lokal, hampir pasti justru berpotensi akan bisa mengikis budaya lokal masyarakat yang sudah ada dan berjalan sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu hingga kini.

Berladang tidak terlepas dari budaya (tradisi) masyarakat lokal di Nusantara (Indonesia) seperti di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Tidak terelakan, budaya lokal membuka lahan untuk perladangan (berladang) menjadi salah satu pilihan masyarakat demi nafas dan keberlanjutan hidup. Sementara berladang yang tidak lain juga sebagai sumber utama penghidupan masyarakat selain bertani karet (menoreh getah).

Ibarat pepatah, kampung tengah (perut) harus selalu diisi (setiap hari kita pasti makan nasi). Akan tetapi, bagaimana bila Jurung (tempat penyimpan padi) masyarakat dayak sudah mulai tidak bersisa?. Apa mereka dapat sumber makan dari lain jika tidak boleh membakar lahan untuk ladang?.

Sejak dulu, mungkin bila boleh dikata masyarakat lokal, masyarakat adat, masyarakat kampung, masyarakat pedalaman lebih khusus di Pulau Kalimantan telah berladang hingga kini. Mereka pun mengetahui tata cara, pengelolaan yang berkelanjutan.

Masyarakat lokal berladang pun melakukannnya dengan tata yang arif bijaksana (menurut adat dan tradisi). Mereka (masyarakat lokal membuka lahan/berladang) dengan kearifan lokal dengan membuka lahan hanya seperlunya saja (tidak seluas-luasnya) dan membakar ladang dengan sistem sekat bakar. 

Sistem sekat bakar ini tentunya tata cara yang digunakan sejak dulu untuk mencegah meluasnya/ merembetnya kebakaran. Berbeda atau tidak sama dengan perluasan lahan dan pembakaran lahan yang diperuntukan perkebunan skala besar.

Areal perladangan masyarakat. Foto dok. Petrus Kanisius
Areal perladangan masyarakat. Foto dok. Petrus Kanisius
Ironisnya saat ini, masyarakat kebanyakan dihadapkan kepada kekhwatiran, kebingungan dan mungkin juga ketidakpastian. Kekhawatiran mereka (masyarakat lokal) tidak lain adalah mereka tidak bisa membuka lahan untuk berladang karena larangan dan hukuman jika membakar lahan. 

Sebuah pertanyaan tentang hal ini, bagaimana bila masyarakat tidak bisa berladang? Sementara bagi mereka berladang sudah menjadi nafas dan jiwa yang tidak terpisahkan. Siapa yang akan menanggung hidup mereka selain mereka sendiri?.

Gotong royong menugal pagi (menanam benih padi). Foto Relawan Benih Padi
Gotong royong menugal pagi (menanam benih padi). Foto Relawan Benih Padi
Selain itu juga, tradisi budaya yang telah berjalan lama berpotensi terkikis. Terancam terkikisnya budaya lokal, ini erat terkait banyaknya budaya lokal masyarakat seperti tradisi syukuran atas panen, mengemaru, nyapat taunt atau nyelepit tahun bagi masyarakat dayak terancam akan hilang bila larangan pembakaran lahan yang diberlakukan kepada mereka. 

Selama bertahun-tahun sejak dulu, adat dan tradisi masyarakat merupakan satu kesatuan, saling keterkaitan (tidak terpisahkan) lebih khusus di pedalaman-pedalaman Kalimantan. Adat membuka tanah oleh masyarakat untuk membuka lahan pun mungkin akan tergerus bila mereka dilarang.

Tidak hanya itu, tradisi pesata dan makan emping juga mungkin akan terancam hilang. Emping adalah makanan yang dibuat dari padi ketan yang setengah tua, kemudian padi tersebut disanggarai hingga pecah mirip popcorn, setelah itu padi yang telah matang tersebut kemudian ditumbuk menggunakan alu dan lesung (alat tumbuk padi tradisonal),sumber; Borneo Wisata.

Emping dari padi tua yang belum masak. emping enak dimakan bila ditambahkan dengan gula merah dan kelapa yang tidak terlalu tua, tetapi tidak terlalu muda di parut. Foto dok. Borneo Wisata
Emping dari padi tua yang belum masak. emping enak dimakan bila ditambahkan dengan gula merah dan kelapa yang tidak terlalu tua, tetapi tidak terlalu muda di parut. Foto dok. Borneo Wisata
Seperti diketahui, masyarakat lokal baik Dayak, Melayu dan suku-suku lainnya yang telah bercampur di Kalimantan selalu melakukan adat dan tradisi sebagai ritus yang selalu dijalankan. 

Memang saat ini ada tata aturan yang memperbolehkan masyarakat untuk membakar lahan dengan mengacu pada kearifan lokal masyarakat, namun harus terlebih dahulu melaporkan kepada Camat, Lurah dan RT bila ingin membuka lahan dengan skala luasan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui aturan. Lihat di sini.

Akan tetapi rasanya, tata aturan yang berkaitan dengan larangan dan batasan dalam pembukaan lahan tersebut justru menjadi ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Bukan tidak mungkin, para petani ladang malah nantinya menjadi tertuduh biang dari pembakaran lahan. Walau terkadang lahan yang terbakar adalah bukan di area para petani, melainkan di lahan-lahan berskala besar yang boleh dikata di lahan para korporasi besar.

Luasan lahan gambut yang terbakar di area konsesi. Foto via mongabay.co.id, sumber BRG
Luasan lahan gambut yang terbakar di area konsesi. Foto via mongabay.co.id, sumber BRG
Semoga saja kearifan lokal masyarakat masih bisa terjaga lestari dan tidak terkikis hanya karena larangan pembakaran lahan untuk perladangan (berladang). Dengan harapan pula, tradisi masyarakat masih tetap dijalankan tanpa melanggar tata aturan yang ada.

Petrus Kanisius-Yayasan Palung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun